-->

KETIKA 15 TAHUN KOMUNISME MENGUBAH NASIB BANGSA


 

Berapa lama sebuah negeri bisa diubah ideologinya, kulturnya, bahasanya, dan segala sistemnya agar menjadi negeri komunis?


Jika kita berkaca pada apa yang terjadi dengan Khazakstan dan Uzbekistan, maka jawabannya adalah tak lebih dari 15 tahun. Bagaimana mungkin? Setidaknya itulah yang bisa kita simpulkan dari buku Garis Batas karangan Agus T Wibowo, seorang backpacker yang pernah lama tinggal di negara-negara bekas Uni Soviet.


Dahulunya negara Tan-Tan ini adalah kawasan Jalur Sutera yang dilewati oleh saudagar-saudagar Persia, Turki, Arab, Mongolia, dll. Pada masa itu kultur Islam sangat kental. Baik Sunni maupun Syiah. Samarkand dan Bhukhoro adalah dua tempat yang mempunya peradaban Islam sangat tinggi pada masa itu. Islam menjadi kultur yang kuat di jalur perdagangan bangsa-bangsa pada masa itu.


Hingga kemudian Stalin berkuasa di Rusia lalu melakukan aneksasi ke negara-negara di sekitarnya. Khazakhtan dan Uzbekistan adalah dua di antaranya. Selain Kyrgyztan dan Turmeknistan.




Begitu menguasai daerah Tan-Tan langsung melakukan program kekuasaannya. Menjadikan negara-negara itu berhaluan komunis. Lewat apa?


Yang pertama adalah propaganda secara masif. Sekolah-sekolah diganti kurikulumnya. Buku-buku sejarah diganti. Pahlawan-pahlawan baru diciptakan. Bahasa pengantar di sekolah dan kampus diganti menjadi Bahasa Rusia. Slogan-slogan baru yang sangat Moskow didengungkan secara masif supaya propaganda baru segera dianggap kebenaran.


Kedua, umat beragama (Islam) dijauhkan dari tradisi dan tempat ibadahnya. Masjid disulap menjadi mall, museum, atau gedung pertemuan. Suara azan tak boleh diperdengarkan hingga terdengar keluar. Pengajian dilarang. Kumpul-kumpul dalam jumlah banyak orang diawasi mata-mata. Hari-hari besar agama dihilangkan. Ulama-ulama dikebiri dan disertifikasi. Hanya boleh berkhutbah dengan materi yang telah disiapkan pemerintah. Berisi propaganda dan janji-janji surga negara dengan sistem sosialis.


Apa yang terjadi kemudian?




Lima belas tahun setelahnya hasilnya sudah kelihatan. Bahkan sampai sekarang.


Sekarang jika kita pergi ke Khazakhtan atau Uzbekistan maka hampir tak bisa ditemukan lagi generasi muda yang bisa bahasa asli mereka. Hanya sedikit saja orang-orang tua yang bisa bahasa Kazakh atau bahasa Uzbek. Anak-anak muda lebih bangga dan lebih fasih berbahasa Rusia. Mereka menganggap bahasa nenek moyangnya adalah bahasa yang kuno, kolot, tak perlu dipertahankan.


Bagaimana dengan kehidupan orang Islamnya. Memang sebagian besar mengaku beragama islam. Tapi apakah mereka pernah ke masjid atau mengamalkan ibadahnya? Hemmmm, sangat jarang.


Anak-anak mudanya sudah merasa Islam ketika mereka memakai kalung bertuliskan Allah. Di antara mereka bahkan banyak yang tidak hapal kalimat syahadat. Apalagi hapal surat-surat dalam al-Quran. Banyak masjid berdiri megah tapi isinya kosong. Yang shalat di dalamnya sedikit sekali.


Jangan kaget kalau setiap hari banyak yang menenggak vodka hingga mabuk. Di Rusia vodka adalah minuman pergaulan. Dan budaya minum vodka itu pun berhasil dianeksasi ke Khazakhtan dan Uzbekistan. Anak-anak muda belum modern pergaulannya ketika saat bertemu tidak sambil menenggak vodka.


Bagaimana suasana Ramadhannya? Jangan harap akan tampak nuansa religius seperti di Indonesia atau Malaysia. Suasananya biasa saja. Restoran buka di mana-mana. Orang dengan santai makan di mana-mana. Bulan Ramadhan seperti hari-hari biasa. Masjid-masjid juga tak banyak jamaahnya. Hanya orang-orang tua yang masih tampak meramaikan masjid.


Di Turmeknistan bahkan ada aliran Islam Ismailiah yang sudah tak mewajibkan lagi jamaahnya untuk pergi haji. Haji bisa diganti dengan ziarah ke makam suci Agha Khan sebanyak tiga kali. Saya membayangkan seandainya ibadah haji tidak bisa dilakukan selama lima belas tahun mungkin akan terjadi juga di sini. Bahwa haji atau umroh itu tidak penting lagi. Bertahun-tahun tidak ada orang berangkat dan pulang haji akan membangun mindset baru bahwa menjalankan rukun Islam lima itu tidak penting.  Kalau ada yang berangkat umroh atau haji bisa jadi  malah akan dianggap aneh oleh masyarakat sekelilingnya. 





Islam dan kultur Islam telah hilang dari negeri Tan-Tan. Propaganda dan lifestyle diciptakan untuk mengubah sebuah masyarakat agar berubah total. Generasi mudanya dirusak lewat kurikulum pendidikan. Pikiran-pikirannya diracuni lewat media massa yang sudah dikontrol sedemikian rupa.


Kita berharap Indonesia yang mempunyai populasi umat Islam terbesar di dunia (beriringan dengan Pakistan dan India) semoga tidak menghadapi situasi seperti itu. Sampai seribu tahun lagi. Sampai semilyar tahun lagi. Sampai menjelang kiamat tiba.* (AMONG KURNIA EBO)

LihatTutupKomentar