-->

MENJAGA PERADABAN TAKWA PASCA RAMADHAN


Ramadhan telah berlalu. Syawalan ketupat lebaran juga telah lewat. Hikmah apa yang kita dapatkan setelah sebulan penuh berpuasa ditambah sunah enam hari sesudahnya? Atau sekedar haus dan lapar belaka?


Jika mengingat kembali tujuan diwajibkannya berpuasa, sebagaimana termaktub dalam QS Al-Baqarah 183,  ujung dari tujuan puasa adalah agar pelakunya menjadi insan bertakwa daan bisa mewujudkan  takwa itu dalam keseharian hidupnya. 


Sesungguhnya, banyak hikmah yang bisa kita petik dari Ramadhan. Bukan semata hanya waktu untuk bisa meningkatkan frekuensi ibadah, mengejar pahala berlimpah, dan menghindari dosa.


Pertama, puasa itu itu intinya adalah menahan. Zahirnya adalah menahan lapar, haus, dan nafsu buruk. Tapi sebenarnya adalah menahan diri atas segala hal yang bukan haknya, bukan pada tempatnya, tidak pada aturannya.


Apa maknanya? Kita diwajibkan bisa menahan atau menunda sebuah keinginan (apapun itu) hingga sampai pada waktunya, hingga sesuai aturan mainnya. Tidak boleh dilakukan sesuka-suka kita. Semua ada prosedurnya. Ikutilah dan patuhi dalam hal apapun. 

Pesannya, mampulah menahan diri, dalam hal-hal kecil hingga hal-hal besar.


Kita harus bisa menahan diri untuk berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah. Jangan diterobos sebelum lampu hijau. Itu aturannya. Melanggarnya bisa buruk dampaknya.




Kita tidak boleh menyerobot antrean jika memang datang belakangan. Kita tak boleh merebut jatah orang lain, apalagi itu bansos, karena sadar memang bukan haknya. Kita tak boleh merebut apapun yang belum saatnya dan bukan haknya.


Pendek kata, kita harus sabar dalam semua hal. Menghilangkan mental menerabas. Melenyapkan keserakahan. Selalu taat pada aturan. Bukan mengakalinya. 


Kedua, puasa menebalkan pesan penting kejujuran bagi setiap mukmin. Pesan agar kita selalu bersikap jujur pada diri sendiri, di manapun  dalam kondisi apapun. Karena yakin  setiap gerak-gerik kita dalam pengawasan Tuhan dan kelak ada perhitungannya.


Bukankah tidak ada yang tahu kita berpuasa atau tidak? Kita sebenarnya bisa minum atau makan kapan saja di tempat tersembunyi. Tapi, kenapa tidak kita lakukan? Karena tahu itu tindakan tidak jujur. Sesuatu yang curang tidak boleh kita lakukan. Puasa mengajarkan kita untuk tidak korupsi. Sekecil apapun.


Ketiga, puasa mengajarkan tentang bagaimana rasanya lapar yang panjang. Ternyata lapar itu berat dan dalam kehidupan nyata  orang-orang lapar itu masih banyak. Entah karena kemiskinan, pengangguran, gelandangan, kebodohan, kehilangan orang tua, penggusuran, pemutusan hubungan kerja,  akibat konflik/peperangan, dan sebab lainnya. Mereka bukan hanya lapar sebulan tapi bahkan mungkin lapar sepanjang tahun.


Maka sudah seharusnya Ramadhan  meningkatkan rasa empati kita pada kelaparan banyak orang. Mengguratkan tanya: apa yang bisa kita lakukan pada mereka?


Punya empati dan simpati tentunya. Lalu mewujudkannya dalam bentuk-bentuk aksi nyata. Memberi takjil (makanan) agar mereka selalu bisa berbuka/makan tiap hari. Menyantuni janda-janda tua. Membeli barang dagangan tetangga yang sedang kena PHK. Memberi kemudahan yang belum bisa melunasi hutangnya. Ringan bersedekah kepada pengemis di pinggir jalan. Berbagi nasi boks gratis setiap Jumatan. Pendek kata, kita menjadi peka terhadap kesusahan orang lain. Kita menjadi ringan untuk menolong sebisa mungkin. 


Sikap punya tenggang rasa, peka, dan peduli pada kesulitan orang lain itulah altruisme. Kita tidak boleh cuek dengan masalah sosial di sekitar kita. Bukan hanya di saat Ramadhan. Tapi terus berlanjut sampai kapan pun sepanjang masih ada orang susah.




Bukankah QS Al-Maun 1-3  menerangkan secara tegas bahwa mereka yang tidak peduli dengan anak yatim dan tidak mau memberi makan orang miskin adalah para pendusta agama? Sebuah cap buruk langsung dari Allah sekaligus sebagai peringatan keras bagi setiap mukmin. Karena ancamannya jelas, bagi setiap pendusta agama maka neraka adalah tempatnya.


Begitulah, Ramadhan seyogyanya semakin membuat kita sadar betapa kesalehan ritual saja tidak cukup. Mengejar pahala yang berlipat ganda selama Ramadhan memang penting tapi menjadi kurang maknanya  manakala kita tidak peduli dengan nasib orang lapar dan papa setelah Ramadhan usai. Kesalehan ritual harus dilengkapi dengan kesalehan sosial. Sebagai wujud ketakwaan yang sempurna.


Taat, jujur, sikap  altruis itu tiga hal utama yang bisa kita petik dari  Ramadhan. Itulah sebagian dari  peradaban-peradaban takwa yang harus terus kita jaga dan tegakkan. Hingga hari ini dan seterusnya, sepanjang hayat. 


Lebaran bukan saat untuk kembali memuaskan hawa nafsu. Lebaran justru awal untuk tetap meneruskan kembali perilaku-perilaku ketakwaan yang telah kita godok selama sebulan dalam kawah candradimuka Ramadhan. Semoga kita bisa menjadi insan yang bertakwa dan menjaga peradaban takwa itu itu setiap detik dan di mana pun berada.* (AMONG KURNIA EBO)

LihatTutupKomentar