-->

KISAH DARI TEPI HUTAN: Buka Puasa dan Tarawih di Wisma KBRI Ekuador (5)


 

Hari keempat di Ekuador adalah hari yang sangat menyenangkan dan paling berkesan bagi Among Kurnia Ebo dan Tony Hardiyanto. Mengapa? Karena sejak siang sudah ditelpon staf KBRI agar sebelum Maghrib tidak ke mana-mana. Mau dijemput dan diajak acara buka puasa dan salat tarawih bersama di Wisma KBRI.

Dan benar memang. Sekitar jam empat sehabis Ashar, Bang Rafi Eranda sudah meluncur ke hotel menjemput mereka. Mobil langsung dipacu kencang menuju lokasi acara. Ternyata letak Wisma KBRI ini ada di pinggiran kota. Di kawasan La Cumbre, Bellavista Quito, sebuah perbukitan yang sejuk. Menempati bangunan seluas kurang lebih 2.000 m2 dengan dipenuhi pohon rindang serta taman di dalamnya. Sangat tenang dan asri.

"Ketika kami tiba belum ada tamu lain yang datang.  Masih sepi. Jadi, kami duduk-duduk dulu di taman. Sambil menikmati suasana dan udara perbukitan. Kami berpikir nanti pasti banyak yang datang. Apalagi sebelum Mahgrib sudah ada beberapa mobil yang masuk. Ternyata, sampai Maghrib tak ada lagi tamu. Otomatis hanya ada 17 orang yang hadir di Wisma KBRI," ingat Among Kurnia Ebo.

Berdasarkan buku absensi tamu, Ebo dan Tony adalah orang Indonesia ke 14 dan 15 yang menginjakkan kakinya di Ekuador tahun itu. Bedanya, yang absensi sebelumnya adalah nama-nama anggota DPR dan diplomat lain. Sedangkan dua nama terakhir itu adalah backpacker murni.



Waktu maghrib tiba. Tak ada azan terdengar dari televisi atau masjid. Jadwal berbuka cukup dilihat di internet. Lalu ada salah satu staf KBRI yang mengumandangkan azan. Semua lantas ke meja makan untuk minum es buah yang disiapkan sebagai pembatal puasa. Setelah semuanya selesai membatalkan puasa, semua orang langsung balik ke ruang tengah. Ambil air wudhu lalu sholat berjamaah. Selesai salat Maghrib dan wirid sebentar, semua balik ke ruang makan untuk menikmati hidangan besar.

"Berjejer banyak makanan di meja makan. Opor ada. Lontong ada. Rendang ada. Sate ada. Ada tahu, tempe, bakwan, telor dadar. Sambel juga berlimpah. Pokoknya semua makanan Indonesia. Saya dan Tony berasa ini di Lamongan saja. Mas Eranda bilang memang selalu ada yang membawa banyak bumbu dari Indonesia kalau lagi pas ada yang mudik ke Indonesia. Jadi, bumbu asli Indonesia tetap tak tergantikan kalau di KBRI," jelas Ebo.

Selesai makan besar buka puasa dengan mencoba semua menu, mereka bercengkrama sejenak. Ada yang keluar ruangan untuk merokok. Sambil menunggu kumandang isya'.



Salat terawih di wisma KBRI berlangsung cepat saja. Membaca surat-surat pendek. Dilakukan sebelas rekaat. Diakhiri dengan zikir bersama. Tidak ada kultum atau ceramah. Hanya ramah tamah biasa. Ada yang melanjutkannya dengan tadarus sendiri-sendiri.

Malam itu cuaca terasa sangat dingin. Sehabis acara terawih semua pamit pulang. Hanya Bang Adin dan dua wanita tukang masak yang tetap tinggal di Wisma KBRI. Mereka sudah dua tahun lebih menjadi staf di situ.

Ebo dan Tony masuk kembali ke mobil Bang Eranda. Tapi tidak untuk diantar langsung ke hotel. Karena, ternyata pak Ajat Sudrajat meminta agar Bang Eranda membawa mereka ke apartemennya. Untuk diajak bincang-bincang sejenak.

"Sampai di apartemen saya nyambung obrolannya dengan Pak Ajat ini. Kenapa? Karena rupanya pak Ajat ini pernah satu kantor dengan mbak Dina Nurdini, waktu masih di Kedutaan RI Kuwait, sebelum pindah ke Ekuador. Nah, mbak Dini itu teman saya kuliah waktu di UGM dulu. Waktu saya ke Kuwait dulu,  dia yang urusin acara saya. Jadi, ya seperti langsung terhubung saja. Langsung akrab dan banyak bercandanya," terang Ebo.

Sekitar dua jam Ebo dan Tony ngobrol panjang di apartemen pak Ajat. Disertai dengan kopi hangat untuk pengusir dingin. Macam-macam yang diobrolkan. Tentang perkembangan di Indonesia, tentang kehidupan di Ekuador. Tentang peredaran ganja. Kultur sepakbola. Dan sebagainya.

Ebo dan Tony. Bersama pak Ajat dan isteri di apartemen.
"Ternyata, orang Indonesia di Ekuador itu banyak lho. Tapi tidak tinggal di perkotaan. Tapi di gunung-gunung. Desa-desa pelosok. Mereka adalah pendeta atau pastur yang dikirim dari Indonesia Timur untuk bertugas di Ekuador. Di kapel-kapel kepel di pedalaman. Pas Perayaan 17 Agustusan mereka pada berdatangan ke KBRI. Mengikutu upacara. Kalau pas Agutusan itu, jumlah yang datang ke KBRI kabarnya jadi ratusan orang. Kayak sulapan gitu KBRI tiba-tiba jadi ramai dan meriah," tutur Ebo lagi.

Satu hal lagi yang mengejutkan Ebo dan Tony selama di Ekuador adalah nama Indonesia sudah sangat familiar di telinga mereka. Bukan marena Pulau Bali atau Jakartanya. Sama sekali bukan. Tapi karena sepatu. Ya, hampir semua pelajar SD, SMP, SMA di Ekuador memakai sepatu yang bertuliskan made in Indonsia. "Itu yang pertama bikin shock aku dan Tony lho. Karena pedagang kaki lima saja tahu Indonesia. Karena dia punya anak SD yang pakai sepatu buatan Indonesia. Mereka seperti bangga banget pakai sepatu merek Indonesia. Hahahah," ujar Ebo sambari ketawa ngakak.

Ebo mengatakan hal unik lainnya yang ia lihat adalah betapa kultur sepakbola tidak bisa dipungkiri begitu mendarah daging di kalangan masyarakat Ekuador. Lapangan bola terlihat di mana-mana. Mungkin setiap desa punya lapangan bola. Anak-anak yang berangkat sekolah atau pulang sekolah tak lupa membawa bola, selain mencangklong tasnya. Jadi, kalau pulang sekolah bukannya balik ke rumah, tapi main bola dulu. Bisa di lapangan sekolah, bisa di taman yang lapang, kadang mereka jugling di trotoar yang jalannya sepi. Sepertinya setiap jengkal tanah bagi anak-anak Ekuador atau Amerika Latin umumnya akan selalu terlihat seakan-akan lapangan bola yang siap dipakai untuk bermain sepakbola. Jadi, pantas saja kalau bintang-bintang sepakbola dunia banyak yang terlahir dari Ekuador.

Pisang adalah makanan yang sangat murah di Ekuador. Berlimpah ruah bahkan jumlahnya. Di kios-kios di pinggir jalan sangat mudah dijumpai orang-orang yang jualan pisang matang. Dan jangan salah, di jalan-jalan raya utama di pinggiran kota, yang jualan sesisir dua sisir buah pisang di lampu-lampu merah juga banyak.

Di Gedung  UNASUR. Bersama Bang Rafi Eranda.

"Menurut keterangan sih biasanya bukan orang lokal situ. Biasanya imigran dari Venezuela. Mereka lari dari negaranya karena resesi ekonomi yang berat lalu menyeberang ke Ekuador dan selama di Ekuador mereka bertahan hidup atau mencari penghasilan dengan menjual pisang di lampu-lampu merah. Kalau ada polisi datang mereka juga bubar. Jadi, kucing-kucingan kayak di Indonesia saja," jelas Ebo.

Di ujung perbincangan Ebo mengatakan bahwa Ekuador sebenarnya bukan destinasi utama yang ingin diburu dari travelingnya ke Amerika Latin itu. Daya tarik wisata Ekuador sangat minim. Ada sih yang fenomenal. Tapi masih jauh tempatnya dan harus menguras kocek tidak sedikit. Tidak cocok untuk level backpacker. 

Nama destinasi wisata eksotik itu adalah Kepulauan Galapagos. Salah satu destinasi impian bagi para pemerhati dan lingkungan. Untuk ke sana dari Ekuador nasih harus naik kapal atau naik boat. Semua penginapannua jelas mahal. Tiket masuknya pun sudah mahal, sampai jutaan rupiah per orang. Mengingat segala pertimbangan itu, untuk sementara waktu dihilangkan dari daftar catatan perjalanan.

Dari Ekuador ini, Ebo dan Tony langsung akan balik.ke Kolombia. Tapi tidak naik pesawat. Tapi, menggunakan bus umum. Melewati perbatasan Ekuador-Kolombia. Untuk selanjutnya berhenti di kota Cartagena. Ada apa di Cartagena? Simak terus tulisan bersambung dua backpacker ini di LensaDesa.* (Miftah MM)
LihatTutupKomentar