-->

MUJIMIN, NABIN, KULONPROGO: Dari Office Boy Hingga Ekspor Anyaman Bambu ke Eropa




LENSADESA. Menuju Desa Nabin, Sidomulyo, Pengasih, Kulonprogo membutuhkan waktu 1,5 jam jika berangkat dari Stasiun Tugu Yogyakarta. Tapi di situlah tempat Mujimin berkreasi dengan anyaman bambunya. Setiap bulan paling tidak satu kontainer harus berangkat ke Belanda.


Mujimin sendiri mengaku tidak menyangka perjalanan hidupnya bakal seperti ini. Sekitar 20 tahun yang lalu ia hanyalah tamatan STM yang pergi ke kota mengadu nasib. Dari semua yang didatangi hanya kantor AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) Cabang Yogyakarta yang menerimanya. Itu pun jadi office boy. Penjaga kantor sekaligus merangkap apa saja yang bisa dilakukan di kantor itu.




"Saya tahu diri. Saya cuma tamatan STM. Jadi ada yang mau menerima kerja di kantoran saja sudah senang. Apalagi ini di kantornya perkumpulan wartawan. Lebih senang lagi. Karena saya akan bertemu dengan orang-orang pintar. Yang bisa saya jadikan guru untuk menambah ilmu. Saya yakin saja semua pasti akan ada manfaat dan hikmahnya. Dan benar sekian puluh tahun kemudian keyakinan itu terbukti," ucap Mujimin mengawali perbincangan dengan LensaDesa.


Hampir sepuluh tahun Mujimin "mengabdi" di kantor AJI. Ia betah karena wartawan-wartawan yang datang semuanya friendly. Tidak pernah memandang dirinya lebih rendah. Malah kadang boleh ikut gabung kalau mereka ada rapat atau diskusi-diskusi penting. Karenanya, tanpa harus disuruh-suruh lagi, Mujimin tahu diri, selalu cekatan menyiapkan makanan kecil atau minuman yang mulai habis. Atau diminta membelikan rokok, mencetak foto, atau membelikan sesuatu di toko. Semuanya dikerjakannya dengan senang hati.


"Akhirnya saya akrab semua dengan mereka. Wartawan senior Tempo, Kompas, Jawa Pos, Jakarta Post, KR, Bernas, Suara Merdeka, pokoknya semuanya kenal semua. Dan saya punya nomor kontaknya. Hubungan baik itulah yang di kemudian hari sangat bermanfaat bagi perjalanan hidupnya," ucap Mujimin.




Setelah pengabdian di AJI habis masanya dan posisinya digantikan dengan tenaga baru yang lebih muda, Mujimin memutuskan kembali ke kampung halamannya di desa Nabin, Pengasih, Kulonprogo. Meskipun belum tau apa yang akan dilakukannya di desanya.


Berbulan-bulan waktunya habis hanya untuk kegiatan memancing dari sungai ke sungai. Tapi, perjalanan itu ada hikmahnya. Ia melihat betapa banyaknya pohon bambu apus di desa-desa yang dilaluinya dan belum ada yang memanfaatkan potensinya. 


Hampir saja ia mau mendaftar menjadi kuli angkut pasir di perusahaan tambang dekat lereng Merapi. Tapi, niat itu diurungkannya setelah membaca berbagai referensi tentang bambu dan olahannya di Google. 



"Saya berpikir kenapa tidak dicoba membuat kerajinan bambu saja. Siapa tahu laku dipasarkan. Kalau nggak ke luar negeri ya lokal-lokal saja. Yang penting bisa menjadi pekerjaan rutin," kenangnya.


Mujimin lantas menebang beberapa batang bambu di dekat rumahnya. Dipotong, direndam, dikeringkan, lalu setelah siap ia coba membuat beberapa aneka anyaman. Ada yang berhasil, ada pula yang gagal. "Namanya juga masih coba-coba dari lihat di YouTube dan Google, ya wajar saja kalau gagal," tandasnya.


Melihat ulah Mujimin yang menebangi bambu dan membuatnya jadi anyaman itu banyak orang yang menganggapnya aneh. Ada yang nyinyir bahkan ada yang menganggapnya stres. Perangkat desa juga tidak ada yang mendukung. Tapi, Mujimin jalan terus meskipun juga belum tahu masa depannya akan seperti apa.


"Sekitar tiga tahun saya eksperimen dengan bambu apus ini. Yang hasilnya bagus saya taruh di rak. Sampai ada sepuluh lebih. Saya foto semuanya lalu iseng saya aploud di akun facebook. Saya tulis saja: produk potensial anyaman bambu dari desa terpencil di Kulonprogo. Butuh bantuan untuk dipublikasikan agar bisa mengangkat perekonomian masyarakat pedesaan. Dan asal tulis begitu. Ternyata ada teman-teman wartawan yang baca lalu mengontak saya. Dari situlah semua berawal," ujar Mujimin.



"Nggak lama kemudian mas Gigin dan Mas Fajri datang. Mereka menulis berita tentang anyaman bambu made in Kulonprogo. Setelah itu wartawan-wartawan yang lain juga datang. Silaturahmi dan wawancara. Setelah itu berita anyaman Mujimin termuat di mana-mana. Sampai kemudian ada yang dibaca Mister Gig dari Belanda yang kemudian datang ke sini dan minta dibuatkan berbagai bentuk anyaman bambu khusus untuk diekspor ke Eropa. Syaratnya hanya dua saja yang diminta. Harus Go Green, yakni tidak ada logam dan tidak menggunakan bahan kimia karena produk begitu yang bisa masuk Eropa. Kedua, dia menjadi ekspor tunggal ke Eropa untuk produk-produk yang dipilihnya," terangnya.


Sejak saat itulah produk Mujimin menembus pasar Eropa. Terutama Denmark, Belanda, dan Belgia. Setidaknya tiap bulan harus mengirim satu kontainer ke Mister Gig. Pernah langsung tiga kontainer. Sebulan penuh pekerja harus lembur terus. "Tapi, alhamdulillah lancar terus sampai sekarang. Sudah bertahun-tahun. Anak-anak muda di sini nggak ada yang nganggur," ucapnya bangga.


Kalau melihat semua itu, tambah Mujimin, ia merasa hidup itu tak terduga dan lucu. "Dulu sayalah yang membuatkan kopi dan teh teman-teman wartawan. Saya yang membantu mereka agar tugas-tugasnya lancar. Sekarang teman-teman itu yang datang jauh-jauh ke sini untuk membantu saya. Memberitakan kerajinan bambu ini hingga akhirnya dikenal banyak orang dan sampai diekspor ke luar negeri. Tiba-tiba nama desa ini terkenal. Banyak yang kaget. Perangkat desa pun kini mendukung kegiatan ini karena bisa membuka lapangan kerja bagi anak muda," jelasnya.





Setelah muncul banyak pemberitaan di media massa itu barulah datang  dukungan dari berbagai pihak. Khususnya dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Menawarkan fasilitas apa yang kira-kira dibutuhkan untuk menopang kegiatan agar lebih lancar.


Ada banyak produk yang dikirim ke Eropa oleh Mujimin. Tapi yang paling favorit adalah nampan dan kap lampu. "Sebulan bisa sampai 10.000 permintaannya. Orang Eropa ternyata menyukai nampan tradisional dari bambu.


"Padahal, kerajinan bambu buatan saya ini bisa awet sampai 10 tahun lho. Sudah ketemu perlakuannya. Yakni, dipilih bambu yang sudah berumur dua tahun dan ditebang pas sekali di pangkalnya supaya semua anakannya tumbuh cepat. Kedua, saat pengeringan harus dipastikan kadar gulanya harus zero supaya tidak ada rayap yang datang. Kalau dua syarat itu tidak terpenuhi maka bambu akan cepat lapuk," terangnya.


Ketekunannya dengan anyaman bambu ini memberi berkah lain bagi Mujimin. Apa itu? Banyak mahasiswa Pasca Sarjana dari berbagai kampus datang untuk membuat penelitian sebagai bahan tesisnya. Dari situ ia mulai mengenal dosen arsitektur dan pakar bambu.



"Sampai suatu ketika saya dipanggil Dr. Adi Parwoto. Katanya saya mau diajak seminar di luar negeri. Ternyata malah saya yang disuruh presentasi soal keajaiban bambu apus ini. Di kampus di Jepang dan China. Di hadapan mahasiswa, doktor, dan profesor. Yang menerjemahkan pak Adi sendiri, seorang doktor. Saya kan nggak bisa Bahasa Inggris blas. Ajaib kan?," jelasnya.


Pergi ke luar negeri saja tidak pernah ada dalam impiannya. Tapi ini malah diminta ke luar negeri, diberi fasilitas terbaik, dan diminta presentasi di depan orang-orang pinter. "Nyaris tak percaya. Tapi itulah kenyataannya. Anak STM kok ngajari profesor-profesor. Dan mereka banyak yang mengakui belum pernah tahu teknik-teknik yang saya gunakan di sini. Makanya saya katakan hidup itu kadang lucu dan tak terduga," ujarnya.* (AMONG KURNIA EBO)

LihatTutupKomentar