-->

EKA PUJI LAKSANA : Ompol Bayi Yang Membawa Traveling Ke Luar Negeri



LENSADESA, Banyak anak desa yang mengalami dilema ketika sudah lulus menjadi sarjana. Bimbang antara dua pilihan. Tetap di kota mencari lowongan kerja atau balik ke kampung halaman dan menata masa depannya sendiri.


Setidaknya itulah kebimbangan yang dirasakan oleh Eka Puji Laksana. Anak desa yang tinggal di desa Semen, Ngluwar, Magelang, Jawa Tengah.


Ketika lulus dari SMA, Eka mengikuti teman-temannya yang lain. Melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Ia  menjatuhkan pilihannya pada kampus AMP YKPN Yogya. Karena ingin yang kuliah lebih singkat dan ilmunya praktis  ia memilih Diploma Ekonomi.


"Ketika kuliah saya mencoba menjadi mahasiswa yang baik. Agar tidak banyak pengeluaran dan bisa lulus tepat waktu. Alhamdulillah, bisa sesuai rencana. Saya senang, orang tua senang, cepat menjadi sarjana. Tapi saat lulus itulah awal perjuangan hidup saya yang sebenarnya," ujar Eka kepada LensaDesa.


Saat pulang ke Magelang dan sebetulnya ingin bersantai dulu agak lama di desanya ternyata Eka malah langsung mendapatkan pekerjaan. "Ada BPR yang menawari gabung untuk ditempatkan di divisi pemasaran. Mau tidak mau saya kecebur di sana. Awalnya  biar ada pengalaman kerja saja," jelasnya.


Karena kinerjanya bagus, kontrak Eka diperpanjang terus. Dan tak terasa dia telah bekerja di BPR hingga tujuh tahun. Bagaimana penghasilannya?


"Kalau untuk ukuran di desa sangat cukup. Tapi ada dua hal yang kemudian membuat saya gelisah. Yang pertama, karena sudah pegang polanya, jadi seperti copy paste saja kerjanya. Tidak ada tantangan baru. Kerja di bagian pemasaran kredit UKM ya begitu-begitu saja sebetulnya. Lama-lama hambar. Apalagi sudah bertahun-tahun. Boring juga," ujarnya.


Kedua, tambahnya, di sisi lain sebetulnya kerja di BPR itu capeknya luar biasa karena banyak survei di lapangan sebelum eksekusi keputusan. Apalagi dengan bertambahnya umur. Pulang kerja sampai rumah itu sudah habis tenaga dan nggak bisa apa-apa lagi. Dua alasan itu yang membuatnya gundah dan ada kepikiran untuk berhenti dan mencari pekerjaan lain.




Tepat menuntaskan tujuh tahun pengabdiannya di sebuah BPR, Eka akhirnya benar-benar minta resain. Meskipun belum tahu mau mengerjakan apa setelahnya. Yang membuatnya agak tenang adalah dia memiliki isteri seorang bidan desa sehingga masih ada penghasilan  yang akan bisa menopang kehidupan hidup sekeluarga.


"Apalagi waktu itu anak kedua saya sudah lahir. Jadi, kebutuhannya pasti banyak. Tapi, karena kita tinggal di desa dan ada penghasilan pokok dari isteri, saya tidak terlalu panik. Saya yakin aja pasti nanti ada pekerjaan lain yang membuat penghasilan keluarga utuh kembali," jelasnya.


Hampir setahun Eka menganggur. Selama ini waktunya dihabiskan untuk jalan-jalan untuk mencari peluang. Kalau malam sering buka internet untuk mencari informasi bisnis yang kira-kira pas. Juga membeli majalah-majalah bisnis dengan harapan akan mendapatkan ide bisnis dari artikel yang dibacanya.


"Tanpa dinyana justru ide itu muncul dari anak sendiri. Saat melihat anak tidur kurang nyaman dan kadang kencing berceceran tiba-tiba muncul ide bagaimana kalau membuat kasur bayi yang nyaman dan sekaligus bisa menyerap air kencingnya supaya tidak banjir kemana-mana? "Kalau bisa membuat yang seperti itu, pikir saya pasti akan banyak orang yang membutuhkan dan mau membelinya," ujarnya.


Dari ide awal itulah Eka kemudian merintis usaha kasur bayi dan baju anaknya. Bermula dari satu mesin jahit milik ibunya, ia meminta keponakanya untuk membuat satu sampel kasur bayi. Yang empuk, nyaman, dan dilengkapi penyerap air kencing. 



"Itu dimulai awal tahun 2016. Ketika sudah jadi, saya posting saja di facebook. Ternyata ada yang melihat dan kemudian pesan. Dari satu dua orang hingga menjadi ratusan pemesan. Sampai luar Jawa pemesannya," paparnya.


Dari memproduksi kasur bayi itu, Eka kemudian mengembangkannya ke usaha konveksi baju anak dengan merek Bylio. Yang ternyata, pasarnya lebih besar, permintaan lebih banyak, dan banyak yang minta minta menjadi agennya. Di situ ia semakin yakin bahwa jalan hidupnya arus menjadi juragan, bukan balik menjadi karyawan lagi.


Saat masih memproduksi kasur bayi ini Eka melihat ada dua kendala yang membuat usahanya ini tidak bisa berkembang secara masif. Memang selalu ada permintaan, tapi belum stabil setiap bulan. Bahkan kadang ada yang batal dikirim karena biaya ekspedisi yang kemahalan.


"Sebulan bisa lima puluhan tapi kadang hanya lima biji juga pernah. Tentu ini harus ada terobosan. Tak mungkin berdiam begitu saja. Banyak order yang gagal dikirim karena dipesan pembeli dari luar Jawa, misalnya dari NTT atau Papua. Ongkosnya bisa lebih mahal dari barangnya. Karena kena volumetrik. Faktor lain, karena pembeli hanya pesan satu saja. Ini yang membuat kasur bayi tidak bisa masif pemasarannya," jelas Eka.


Bagaimana selanjutnya? Eka kembali menjalankan hobi lamanya. browsing di internet, membaca buku-buku bisnis, dan juga beberapa kali jalan-jalan ke pusat perbelanjaan di Yogya.


Hasilnya, Eka punya ide mengembangkan usahanya untuk memproduksi baju anak. Alasannya ternyata sederhana. Pertama, ia sudah punya database pemesan kasur bayi produksinya. Kenapa ini tidak ditawari baju anak? Karena bayi yang baru lahir itu akan terus tumbuh dan karenanya membutuhkan baju-baju yang sesuai ukurannya.


Kedua, karena untuk memproduksi baju bayi ini tidak membutuhkan alat baru. Masih mesin jahit yang dipakai untuk membuat kasur bayi. Jadi, tidak perlu suntikan modal lagi.


"Maka akhir tahun 2017 saya memulai memproduksi baju anak. Untuk ukurannya kita mulai dari 0-3 tahun. Untuk modelnya saya contek saja dari majalah wanita atau dari internet. Kemudian dimodifikasi sana-sini agar lebih cantik. Target pasar awalnya adalah ditawarkan ke pembeli kasur-kasur bayi yang database-nya sudah banyak. Ternyata kemunculan produk baju anak ini disambut baik oleh pasar," kenang Eka.


Suami dari Dian Puspitasari  ini makin mantap dengan jalan hidupnya setelah pasar menyambut produknya. "Saya nggak tau ini keberuntungan atau karena intuisi dan analisa saya yang pas, tapi begitulah yang terjadi. Di baju anak-anak ini nyaris tak ada hambatan. Juga nggak ada yang gagal kirim. Semuanya berjalan mulus. Konsumen semuanya puas," tandasnya.




Banyak di antara konsumennya itu, lanjut Eka, akhirnya malah ingin menjadi agen untuk produknya. "Di awal-awal, yang minta malah dari luar Jawa. Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Sumatera. Di sana ternyata laris manis. Selain itu pengirimannya juga tidak ada kendala dan jauh lebih hemat. Untuk baju anak kan satu kilo bisa berisi 7-8 baju. Jadi, secara ongkos kirim sangat kecil sehingga kalau dijual lagi tidak susah. Mereka juga masih bisa mendapatkan margin yang besar," tambahnya.


Dari yang semula membuat baju ukuran 0-3 tahun, akhirnya pemintaan berikutnya datang dari konsumen. "Selain minta dikirim baju ukuran 0-3 tahun, mereka juga minta dibuatkan baju anak ukuran 3-5 tahun. Semenjak itu pengiriman menjadi dobel. Pertumbuhan baju anak Bylio  saya rasakan makin masif. Lalu saya pun  menambah jumlah mesin jahit dan karyawan agar bisa memenuhi order yang terus masuk," ujarnya dengan wajah sumringah.


Dua tahun menjalankan bisnis baju anak-anak, hasilnya benar-benar bisa dirasakan oleh Eka. Bukan saja penghasilannya meningkat berkali-kali lipat dibandingkan saat jadi pegawai BPR dulu. Tapi, ia juga bisa membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang di desanya. Itu adalah kepuasaan tersendiri baginya.


"Saya juga bisa membeli mobil operasional untuk memperlancar usaha. Juga membeli motor yang bisa menyalurkan hobi saya. Belum lama saya juga baru membebaskan sepetak lahan yang rencananya nanti akan dijadikan rumah produksi dan gudang. Agar terpisah dari rumah. Selama ini semuanya masih menyatu. Ya rumah ya tempat kerja. Biar nanti lebih tenang," ujarnya.


Dari hasil jualan baju anak itulah pada Pebruari 2019 kemarin Eka bisa mengajak istrinya berangkat umroh dengan bergabung bersama Komunitas Umroh Backpacker Yogya. "Pas tujuh hari setelah mendarat di Indonesia, tiba-tiba dunia lock down ada wabah corona. Sungguh saya merasa sangat beruntung sekali lagi. Andai jadwal umrohnya Maret kita pasti gagal berangkat. Hal yang patut saya syukuri. Makanya saya kemudian mengajak isteri untuk mendaftar haji. Entah berangkatnya kapan kita ikuti saja. Semoga nanti juga ada kemudahan bisa berangkat lebih cepat," jelas bapak tiga anak ini.


Bukan hanya itu, berkat usaha kasur bayi dan baju anak ini pula Eka bisa mengajak isterinya jalan-jalan keluar negeri. "Belum lama kita saya ajak isteri ke Malaysia dan Turki. Pengen lihat salju. Kita traveling ke pegunungan Uludag, Bursa. Eh, pulang dikasih anak ketiga. Sudah lima bulan sekarang anaknya. Setelah risain sepertinya Allah memberi rezeki bertubi-tubi. Bahkan tetap lancar saat pandemi. Hidup memang harus optimis, bergerak, dan selalu bersyukur,"  ujar Eka yang kini aktif di komunitas Klatak University ini. 


Ide bisnis memang ada di mana-mana dan dari siapa saja. Tinggal kita mau jeli apa tidak dan berani mengeksekusinya.* (ARIF YP)

LihatTutupKomentar