-->

BERMAIN SEPAK BOLA BERSAMA ANAK-ANAK PALESTINA

 



Kalau ditanya kenangan apa yang paling mengesankan selama tiga hari  berada di bumi Palestina? Ternyata bukan karena bisa salat di 7 masjid di dalam kompleks al-Aqso (Baitul Maqdis). Menjelajahi semua masjid yang ada di kawasan suci kota tua Yerusalem ini. Termasuk di masjid Qubah as-Sakhra, masjid Kubah Emas yang menjadi ikonnya. Atau di masjid nabi-nabi yang lain di pinggirin kota. Bukan itu!


Kenangan yang justru terekam indah dalam ingatan saya adalah bisa membersamai anak-anak Palestina itu bermain bola di halaman masjid utama. Masjid Qibli. Masjid yang letaknya paling depan, paling dekat jaraknya dengan arah Kabah, dan di sebaliknya berimpit langsung dengan tembok ratapan. Tembok yang dianggap sebagai Telinga Tuhan oleh kaum Yahudi. Mereka mempercayai barang siapa yang meminta di dinding tembok ratapan itu, seakan doanya dibisikkan langsung ke telinga Tuhan (Yahweh). Akan terdengar langsung dan mudah terkabul.



Ya, saban sore, sambil menunggu azan Maghrib tiba, saya biasanya bercanda dengan kucing-kucing gemuk jinak yang hilir mudik atau burung-burung merpati cantik yang ratusan jumlahnya di halaman masjid.  Setelah puas barulah saya bergabung dengan anak-anak Palestina yang lagi bermain bola di beberapa titik halaman. Betapa sangat menyenangkannya itu.


Anak-anak Palestina ini sangat ramah dan hormat dengan kita orang-orang Indonesia. Mereka telah menganggap kita ini adalah saudara mereka. Saya masuk untuk gabung  bermain dan mereka pun menyambutnya dengan antusias. Kalau saya lama tidak kebagian bola, salah satu dari mereka pun langsung mengarahkan tendangan bolanya ke posisi saya.


Bagi anak-anak itu, bermain bola di sore hari adalah sebuah kegembiraan di tengah hidup mereka yang setiap hari tegang  dan dihantui ketakutan. Bagaimana tidak? Pintu gerbang Masjidil Aqsa selalu dijaga oleh ratusan tentara Israel, bergiliran siang malam. Begitu juga di gang-gang sepanjang tembok panjang yang mengitari rumah penduduk Palestina, selalu ada tentara yang siaga. Sudah tentu dengan senapan laras panjang yang melekat di badannya. Sementara itu di luar sana, di Jalur Gaza, beberapa jam perjalanan dari Aqso, hampir setiap hari mereka dengar berita konflik terjadi. Teman-teman mereka di tepi barat itu sering mengalami tindak kekerasan bersenjata. Sungguh, kehidupan yang seperti berselimut teror setiap hari. Tanpa henti. Pedih dan menegangkan.




Binar mata mereka sangat terlihat jelas saat bisa bermain bola bersama. Sejenak itu bisa melupakan kepedihan yang mereka hadapi. Sejenak mereka bisa merasakan kegembiraan dan kebahagiaan. Setidaknya itu akan bisa mengurangi luka batin dan trauma mereka. Merasa bahwa masih ada orang-orang yang mau menghibur  dan mengajak bermain bersama.


Saya agak kaget saat  mau berbagi uang ke mereka. Dengan tegas mereka tolak pemberian yang cuma-cuma itu. Lalu bagaimana caranya saya bisa menyampaikan sedikit uang saku pada mereka itu? Seorang kawan memberi tahu agar beli aja souvenir yang mereka jual. Serahkan duitnya tapi ambil barangnya secukupnya. Agar mereka masih bisa menjual barang-barang itu kepada jamaah yang lain. Yesss, sebuah ide yang bagus.


Saya menangkap di tengah kesengsaraan kehidupan yang mereka alami, mereka masih menjaga marwah. Menjaga harga diri sebagai anak-anak muslim. Tidak mau menjadi pengemis yang hanya menadahkan tangan untuk mendapatkan uang. Mereka lebih merasa bermartabat ketika barang souvernir mereka yang dibeli. Posisinya menjadi jual beli. Bukan pengemis dan pemberi sedekah. Well, sebuah prinsip hidup yang luar biasa. Sungguh hebat orang tua mereka menanamkan pendidikan, prinsip dan sikap hidup.


Saat saya berziarah ke Masjid Ibrahim di pinggiran kota, hal yang mengejutkan kembali terjadi. Ketika bus mau balik ke hotel, pemandu wisata dari Yordania mempersilakan anak-anak sekitar masjid untuk berjualan hingga ke dalam. Karena saya duduk paling belakang, saya berniat mengambil semua sisa gantungan kunci yang ada di tangannya. Namun apa yang terjadi?


Anak Palestina itu menolak menjual semua souvenirnya. Saya hanya boleh diambil beberapa saja. Setelah transaksi selesai, dia berteriak ke depan meminta seorang temannya untuk naik ke dalam bus. Rupanya ia memanggil temannya yang barang dagangannya belum terjual. Ia mempersilakan saya untuk membeli souvenir lagi ke anak yang baru naik itu. Sembari dia berjalan balik untuk turun dari bus.


Hemmm, sungguh persaudaraan benar-benar nyata di kalangan anak-anak Palestina itu. Mereka tidak membiarkan saudaranya yang lain tidak kebagian rezeki. Mereka memberi semangat satu sama lain. Mendukung satu sama lain. Berbagi rezeki satu sama lain. Tidak mau serakah sendirian meski  keuntungan besar ada di depan matanya. Tidak ada iri di dada mereka. Rasa senasib sepenanggungan membuat mereka seolah jiwa yang satu. Susah senang dirasakan bersama.


Among dikirim pada Hari ini jam 02.31

adi, kalau ditanya pengalaman spiritual apa yang saya dapatkan saatnya berziarah ke Masjidil Aqsa selama tiga hari itu, jawabannya justru bukan di dalam masjid. Bukan karena bisa salat lima waktu dan salat sunah berkali-kali di sejumlah masjid di kompleks Baitul Maqdis itu. 


Pengalaman spiritual itu justru saya dapatkan di luar masjid. Saat saya bertemu anak-anak kecil dan bisa bermain bola bersama. Saat bisa menjadi salah satu yang melarisi dagangan mereka. Saat saya bisa tertawa bersama atau ketika kaki-kaki kami saling berebut bola. Ada kelucuan-kelucuan di situ, ada kekonyolan-kekonyolan di situ, yang bisa membuat kami tergelak bersama. Menularkan kebahagian bersama mereka.



Jadi, kalau ditanya lebih senang mana antara banyak-banyak salat dan zikir di dalam masjid ataukah ketika bermain sepakbola bersama anak-anak itu? Tanpa ragu saya akan menjawab: main sepakbola bersama mereka. Saya lebih merasa intim dengan Palestina dan Masjidil Aqsa. Batin saya merasa lebih tersambung dengan anak-anak Palestina. Saya merasa benar-benar bahagia, lega, plong, senang, ketika mereka bisa tertawa dan tos bersama. Saat-saat semacam itu terjadi bahkan saya merasa tidak peduli lagi dengan pahala. Karena konon beribadah di masjidil Aqsa akan mendapatkan ganjaran seribu kali lipat dari salat di masjid sendiri.


Saya sudah tidak peduli lagi ganjaran-ganjaran berlipat itu. Saya pilih salat secukupnya, zikir secukupnya, baca Quran sesingkatnya, selebihnya segera keluar masjid dan gabung bersama anak-anak kecil Palestina untuk gabung menendang bola bersama mereka. Soal pahala biarlah urusan malaikat yang mencatatnya.


Semoga derita Palestina segera berakhir. Negara ini bisa diakui oleh PBB. Sejak berdirinya 15 November tahun 1988, sampai sekarang Palestina memang salah satu negara yang belum diakui sebagai negara, yang merdeka dan berdaulat oleh hampir separoh negara anggota-anggota PBB. Termasuk Amerika tentunya. Dari jauh saya hanya bisa mendoakannya. Sebatas itu saat ini.


Juga mendoakan agar anak-anak itu bisa selalu sehat, punya makanan yang cukup, masih bisa bermain bola di pagi atau sore hari, dan tidak kehilangan masa depannya. Semoga Allah SWT senantiasa menjaga mereka. Amiiiinnn.


Mari berdoa untuk keselamatan, kebahagiaan, dan masa depan mereka! (AMONG KURNIA EBO)

LihatTutupKomentar