-->

ASEP HERMANSAH, YOGYA: Berawal Ngemper di Pasar, Kini Jadi Juragan Tas Wanita

 



LENSADESA, Tak ada yang bisa menduga jalan hidup dan kesuksesan seseorang. Bisa saja orang yang semula biasa-biasa saja akhirnya meraih kesuksesan yang luar biasa. Dan bisa menjadi inspirasi banyak orang.


Asep Hermansah ini contohnya. Pria asal Cibatu, Garut, Jawa Barat ini tak menyangka bakal hidup Yogya, punya bisnis di Yogya, dan akhirnya menjadi warga Yogya.


"Sampai SMA hidup saya dulu terkungkung di pesantren. Tidak tahu dunia luar. Jadi, begitu lulus saya bertekad akan keluar dari Garut. Ingin kuliah dan punya pergaulan  baru yang lebih luas. Supaya tidak kuper," kenangnya.




Dan benar, tanpa sepengetahuan orang tuanya dan berbekal sedikit tabungannya, lulus SMA ia nekad pergi ke Bandung. Ada brosur sebuah perguruan tinggi yang ia sobek dari papan nama sekolahnya. Tapi malang benar, sampai di Bandung pendaftaran mahasiswa baru sudah ditutup.


Kecewa, sedih, kesal, marah pada diri sendiri campur aduk jadi satu. "Mau pulang malu. Mau nginap di Bandung nggak punya sanak saudara. Akhirnya saya jalan saja mengikuti kata hati," jelasnya.


Sampai kemudian tiba di depan stasiun. Tiba-tiba ia ingin pergi jauh. Karena satu jam kemudian ada kereta yang mau berangkat ke Yogya, Asep langsung beli tiket. Dan itulah perjalanan terjauh dalam hidupnya dan menjadi awal kenapa ia terdampar di Yogya hingga sekarang.




Ia belum tahu jika sudah tiba di Yogya mau ke mana atau mau mendaftar ke mana. Sampai di Lempuyangan ada yang menunjukkan ada kampus terdekat dari stasiun: Universitas Ahmad Dahlan. Ia mendaftar, ikut ujian, dan diterima. Betapa gembira hatinya.


Petualangan hidupnya dimulai ketika menjadi mahasiswa ini. Ternyata semua harus mandiri dan dari sinilah ia belajar kemandirian hidup. Untuk surviv ia mencari berbagai cara agar tidak memberatkan orang tuanya. Mulai bantu-penjaga warnet, jualan cinderamata di Malioboro, jadi guide tour,  sampai sempat bantu angkut-angkut barang di Pasar Beringharjo. Tapi, justru dari emperan Pasar Beringharjo itulah kemudian muncul ide membuat usaha sendiri.


"Menurut saya hidup itu yang penting bergerak. Menambah kenalan. Menjaga kepercayaan. Sedang jalan menuju sukses itu akan mencari caranya sendiri. Yang penting kita jangan pernah berhenti melangkah," ujarnya.

Perjalanan hidup Asep memang berliku. Apalagi benar-benar dimulai dari nol. Tapi ia tak pernah menyerah dengan keadaan. Ia selalu yakin bahwa suatu saat pasti akan bertemu jalan kesuksesannya. Semangat itu yang terus ditanamkan di dadanya.



Jika dilihat dari yang terjadi saat ini, sebetulnya tidak nyambung antara jurusan yang dipilihnya saat kuliah dengan kesuksesan bisnisnya sekarang. Bagaimana tidak?


Saat tiba di Yogya pertama kali dulu Asep  langsung mencari kampus yang masih membuka pendaftaran mahasiswa. Bus yang ia tumpangi melewatkannya pada kampus UAD (Universitas Ahmad Dahlan) di Jalan Kapas. Ia turun dan mencari informasi. Karena masih dibuka, tanpa pikir panjang ia langsung mendaftar. Sambil menunggu ujian ia tidur di beberapa mushola. 


Ketika waktu pengumuman tiba, ia merasa belum yakin bakal diterima. Ternyata namanya tercantum di selebaran pengumuman. Ia diterima di Jurusan Jurusan Sastra Indonesia. Antara bahagia dan bahagia bercampur aduk jadi satu. Inilah pengalaman pertama kalinya akan hidup lama di luar kampung halamannya.


Setelah positif menjadi mahasiswa di Universitas Ahmad Dahlan, ia baru memberitahu orang tuanya lewat sebuah wartel. Mulai saat itulah kehidupan di Yogya diarunginya. Yogya adalah kota kedua setelah Garut yang akan ditinggalinya dalam waktu yang lama. Dan akhinya sampai sekarang setelah menikah, punya anak, dan punya usaha di Jalan Wates Km 3 Banyuraden, Sleman, Yogyakarta.


"Lulusnya lumayan lama. Karena ya itu tadi, saya harus cari biaya sendiri untuk segala kebutuhan kuliah. Apa saja saya lakukan ketika jam kuliah kosong. Termasuk ninggalin KTP dan menjualkan barang pedagang Malioboro. Dari situ saya mulai tahu dunia usaha," kenang Asep.


Lulus dari UAD, pas ada lowongan menjadi Guru SD  Muhammadiyah di daerah Giwangan. Langsung diterima. Tapi dunia pendidikan itu hanya ia jalani dua tahun. Ia merasa tidak cocok dengan dunia sekolah. Ada banyak aturan mengikat yang kurang sesuai jiwanya yang senang dengan tantangan baru.


"Kaki saya berhari-hari diarahkan ke Pasar Beringharjo. Habis sholat isya, saya ke angkringan, dari angkringan pindah ke parkiran Beringharjo di lantai atas. Saya menikmati lalu-lalang orang dan kendaraan yang keluar masuk. Kadang saya tidur di bangku yang ada di situ sampai subuh. Sampai suatu malam saya melihat sebuah mobil plat Z masuk parkiran dan terdengar orang di dalamnya bercakap-cakap dalam bahasa Sunda. Saya bangkit dan mendekat lalu berkenalan. Dari situ awal usaha tas Aira," ungkapnya.


Rupanya mobil yang baru datang membawa tas-tas wanita buatan pengrajin Rajapolah, Tasikmalaya. Ia menawarkan diri untuk membantu menjualkan.


 "Ternyata boleh. Dengan syarat harus meninggalkan KTP di salah satu kios pelanggannya. Hampir setahun saya membantu jualan kios itu dengan naik turun bus wisata. Alhamdulillah, hasilnya sebagian saya tabung dan setelah dihitung ternyata lumayan banyak. Saya kemudian terpikir kenapa tidak membuat tas dengan merek sendiri? Dari situlah awal perjalanan Aira, tas eksklusif wanita, dimulai," tandasnya.


Dengan modal yang ada ia menghubungi kembali sopir pengantar tas dari Rajapolah. Darinya Asep mendapat informasi di mana bahan baku kulit bisa dibeli. Juga di mana ada penjahit tas yang bisa diajak kerja sama. Mulailah ia memproduksi tas handmade bermerk Aira. Panggilan nama anak semata wayangnya.



Asep merasa sangat bersyukur hidupnya dipertemukan dengan kota Yogya, yang kemudian mempertemukannya dengan dunia bisnis. "Dari bisnis tas ini saya bisa memberangkatkan umroh orang tua, membangun rumah dan show room, menyekolahkan anaknya, Humaria, di sekolah SD terbaik, dan membantu adik-adiknya di kampung," ujarnya


Tak lupa ia juga ingin menikmati kesuksesan yang diraihnya.  Dua tahun lalu bersama komunitas backpacker ia mengikuti program Eurotrip.  Plesiran bersama banyak pengusaha keliling Eropa. Belanda, Belgia,  Jerman, Austria, Hongaria, Praha, dan Paris.


"Di Paris itu saya pergi pinggiran kota. Ke kawasan La Village. Kawasan factory outlet yang menjual tas-tas merk ternama. Saya membeli beberapa item yang sedang ngetrend untuk saya jadikan model tas produksi terbaru Aira. Banyak inspirasi saya dapatkan dari Paris. Dan itu salah satu faktor yang membuat Aira kini berkembang seperti sekarang," paparnya.


Selain semua tasnya adalah produksi konvensional dengan jahitan tangan dari pengrajin, Asep memberikan sentuhan ciri khas batik pada tasnya. Itulah yang membuat ibu-ibu sangat senang membeli produk tasnya.


"Sekitar 80% produk Aira dijual secara online. Lewat IG: airabagstore. Pembeli paling banyak  dari Jabodetabek. Hanya sedikit yang datang langsung ke toko. Menurut saya jaman sekarang ini lebih mudah berjualan karena banyak market place yang bisa menjadi display produk. Pengiriman juga lebih gampang ke seluruh kota di Indonesia. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak sukses berbisnis asal kita mau tekun dan konsisten di bidangnya," kata Pembantu Rektor Klatak University ini menutup perbincangan.* (Arif YP)

LihatTutupKomentar