-->

NABAFI KONVEKSI: Kolaps di Bimbel, Bangkit dari Mesin Jahit

 



LENSADESA. Tak pernah ada yang menyangka apa yang terjadi di masa depan. Juga nasib bisnis. Usaha bimbingan belajar yang berjaya di tangan Khoirul Huda ternyata makin redup. Untung isterinya, Ana Ilmi, punya keberanian mengubah haluan. Memilih jalur usaha konveksi dan hidup mereka bangkit dari bisnis barunya.


Khoirul Huda pernah berjaya dengan bisnis bimbingan belajar yang dikelolanya bersama kawan-kawannya saat kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Bimbel Airlangga bahkan sempat punya puluhan cabang di Jawa Tengah dan jumlah muridnya selalu membludak karena ditangani oleh tenaga-tenaga profesional yang muda, cekatan, dan gaul dengan anak didik.


"Tapi hanya kurang dari sepuluh tahun kami menikmati kejayaan itu. Kami agak terlena. Banyak bimbel dengan nama besar masuk ke kota-kota kecil, tempat bimbel kami eksis. Murid kami yang mulanya ribuan akhirnya menurun drastis. Tinggal ratusan. Hingga akhirnya kita putuskan harus gulung tikar. Sempat shock juga di awal-awal perubahan itu," ucap Khoirul mengenang perjalanan bisnisnya.


Bukan hanya bisnis bimbelnya yang kolaps yang membuat ekonomi keluarganya ikut terpuruk. Tak lama setelah itu ia menderita sakit cukup parah. Semua tabungan habis. "Rasanya dunia sudah mau kiamat saja. Saya yang kemaren sangat sibuk karena harus riwa-riwi ngurus bimbel di Cepu, Lasem, Blora, Rembang, Kudus, Grobogan, Padangan, dan kota-kota lainnya, tiba-tiba harus menganggur. Secara psikologis saya down. Tidak menyangka bakal secepat itu,," tutur alumnus Fakuktas Ekonomi UMY ini.


Dalam kekalutan itu, isterinya punya inisiatif mengajak pulang ke kampung halamannya di desa Kumisik, Lawangan Agung, Sugio. "Agar pikiran tenang dulu. Sambil berpikir apa yang harus dilakukan ke depannya. Saya yang tadinya sangat powerfull kali ini harus nurut apa kata isteri. Mungkin sudah jalan-Nya harus begitu. Saya ikuti saja sambil menunggu pemulihan dari sakit," ungkapnya.



Saat pulang kampung itulah tiba-tiba intuisi isterinya bicara. Banyak pabrik baru di Lamongan. Pindahan dari Surabaya. Banyak kantor baru juga. "Bagaimana kalau kita bisnis konveksi? Siapa tahu rezeki kita di situ. Kita mulai saja meski masih nol puthul tentang bisnis ini."


Kata-kata isterinya itu ternyata benar-benar menancap di kepalanya. Maka ia pun setuju. Segera ia buat master plan seadanya sesuai pengetahuan yang didapatnya saat kuliah. Selanjutnya ia menghubungi teman-teman lamanya yang bisa dimintai support.


"Jadi, usaha ini benar-benar dimulai dengan modal nekat. Cuma modal ide dan bismillah. Dan untuk menandai momentum itu kita membuat brand dari singkatan nama anak-anak, yaitu Nauri, Baihaz dan Firna. Makanya labelnya NABAFI," ujarnya.


Memulai usaha konveksi butuh modal. Beruntung isterinya bisa pinjam uang Rp 10 juta dari saudaranya. Uang itu dibelikan lima mesin jahit dan peralatan sablon. Dua orang penjahit di desa itu, Fia dan Fitri, direkrut untuk menjadi pasukan inti.

      

 "Usaha ini  mulai produksi Desember 2018. Waktu itu dapat pesanan pertama hanya 30 pieces. Tapi sudah cukup membuat kita semangat. Kita sebar info di grup-grup WA dan medsos. Alhamdulillah ada hasil. Dan puncaknya saat menjelang Pilpres. Mulai ada pesanan hingga ratusan bahan ribuan pieces. Mulai kaos hingga jaket. Jilbab juga mulai masuk. Semua kita kerjakan sambil belajar. Kualitas terus kita tingkatkan. Akhirnya bisa berjalan stabil sampai sekarang. Nabafi benar-benar tertolong oleh momentum Pilpres dan Pilkada. Pesanan terus mengalir," jelasnya.

      

"Saat banjir pesanan itu sebenarnya sempat kewalahan juga. Terutama soal bahan baku kain. Untungnya isteri punya kawan di Kudus yang punya jaringan konveksi. Kita ambil semua bahan dari sana untuk mengkaver semuanya. Sehingga produksi bisa selesai tepat waktu.



"Sampai perjalanan kami di sini saya hanya bisa ambil hikmahnya. Ternyata jalan rezeki itu tidak harus dari suami. Bisa jadi malah dari isteri. Sehingga tugas saya mensuport habis-habisan apa yang menjadi ide dan kreativitas isteri. Dengan pembagian tugas dia di bagian produksi dan saya di bagian marketing dan distribusi. Kami saling melengkapi. Saya justru makin kagum sama isteri karena dalam kondisi terpuruk dulu, ia bisa tetap tenang dan optimis. Tidak ikut panik. Ternyata Allah punya rencana lain yang lebih besar," ungkapnya.


Ditambahkan oleh Ana Ilmi bahwa tantangan terbesar dari bisnis konveksi adalah SDM dan Kualitas. "Supaya konsumen puas dan repeat order, kami harus mengerjakan tepat waktu dan tanpa cacat. Itu yang kita jaga," tandasnya.

       

Ibu dari enam anak ini, Nauri Maulida, Jundullah Baihaz, Abdullah Firna al-Khoir, Ghotus Sajad al-Khoir, Raidana Ulinuha, dan Takiyyana Kinan Raya al-Khoir  berharap ke depannya usahanya makin berkibar. 


"Kami sudah memulai memahami seluk beluk dunia konveksi. Jauh dari dunia bimbel dulu. Maka tugas kami sekarang menjaga kepercayaan konsumen supaya bisnis ini juga langgeng," pungkasnya.* (YUNUS HS)

LihatTutupKomentar