-->

UANG ADALAH ENERGI: Sumber Kehancuran atau Kebahagiaan?


Sidang Jumat yang berbahagia...

Kita semua membutuhkan uang. Karena di jaman modern ini segala hal yang kita beli membutuhkan alat tukar berupa uang. Tanpa memegang uang segalanya terasa menjadi sulit.

Banyak yang bilang uang bukanlah segalanya. Karena kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang. Tapi, jangan salah. Uang memang tidak bisa membeli kebahagiaan tetapi dengan punya uang akan banyak yang bisa kita lakukan yang akan membuat kita menjadi bahagia daripada tidak punya uang.

Namun, kali ini kita tidak berbicara uang dari segi alat tukarnya. Yang bisa untuk membeli apa pun benda yang kita punya. Kali ini kita akan bicara uang dalam perspektif energi. Uang sebagai awal yang bisa menciptakan akhir. Menjadi takdir atau nasib manusia pemegangnya.

Sebagai sebuah energi uang tidak dipandang dari sisi angka-angka. Sekali lagi dari sisi energinya. Dalam setiap yang yang kita pegang ada dua hal yang bisa kita kaji. Pertama, uang sebagai angka-angka yang bisa ditukar untuk membeli barang-barang. Kedua, uang dari sisi energi, yang bisa menjadi awal sebuah bencana atau keberuntungan.

Di dalam uang tersimpan yang namanya energi. Energi itu tersimpan dalam niat dan cara kita mendapatkan uang. Maka ketika kita memegang yang apa yang akan terjadi sangat berkaitan dengan intensi atau niat yang kita tanamkan ke uang tersebut serta cara mendapatkannya. Dari sinilah bisa ditelisik mengapa uang itu bisa menjadi sumber bencana atau sumber keberuntungan bagi pemiliknya.



Ketika kita memiliki uang, ingat-ingat betul sebenarnya sedari awal uang itu akan dimanfaatkan untuk apa. Apakah untuk membayar hutang, apakah untuk disedekahkan, apakah untuk membantu biaya sekolah keponakan, apakah untuk kegiatan-kegiatan positif yang sudah diniatkan dari awal. Awas, jika niat awal itu diselewengkan untuk kegiatan yang lain apalagi untuk hura-hura atau konsumtif maka uang itu akan mencari jalannya sendiri untuk pergi. Dengan cara paksa. Dengan cara yang tak terduga. Dengan cara yang nantinya akan menyakitkan.

Makanya di dalam ajaran agama Islam selalu diingatkan agar setiap kita mendapatkan uang, entah dari gaji atau bisnis atau proyek, maka segera sisihkan 2,5% itu dan segera sebarkan atau sedekahkan kepada orang lain. Karena dalam uang itu ada hak orang lain. Yang tak boleh kita pakai atau manfaatkan untuk kepentingan diri sendiri. Jika itu dipakai maka uang itu akan mencari caranya sendiri untuk lepas, pergi dari pemiliknya dengan cara yang tidak terduga dan bikin penyesalan.

Itu yang karakter uangnya kita dapatkan dengan cara sah dan halal. Tetap, aturan semestanya, harus 2,5% harus dibuang untuk orang lain. Caranya bagaimana itu terserah saja. Bisa dengan cara mentraktir teman makan-makan, bisa dibelikan beras dan disumbangkan ke panti asuhan, bisa dimasukkan ke kotak infak masjid, bisa diberikan kepada janda-janda tua yang sudah tidak memiliki pekerjaan, bisa dibelikan meja pingpong untuk disumbangkan kepada karang taruna, bisa disumbangkan kepada adik-adik kampus biar kegiatan organisasinya tetap jalan. Ke mana saja nggak terlalu penting, yang penting kegiatan atau acara yang baik dan positif.

Dengan memprelakukan sesuai ketentuan pola semesta dan ajaran agama, maka hidup kita akan menjadi lebih mudah, lebih lapang, lebih membahagiakan, dan terhindar dari kemungkinan terkena musibah.

Sebab, jika jatah 2,5% itu tidak segera dikeluarkan maka uang itu akan keluar dengan caranya sendiri. Misalnya, tiba-tiba ditipu orang, tiba-tiba mobil diserempet orang dan harus masuk bengkel dan menghabiskan dana tabungan, tiba-tiba terjatuh dari tangga lalu masuk rumah sakit dan harus operasi, tiba-tiba dihipnotis orang di jalan dan uang satu tas raib, tiba-tiba ada yang meminjam dan uangnya tak pernah kembali. Dan banyak cara alam lainnya untuk mengambil jatah uang yang memang hak orang lain itu. Yang intinya uang itu harus terlepas dalam genggaman.


Bagaimana dengan uang yang didapat dengan cara yang tak benar? Ada pengalaman menarik dari seorang teman yang pernah menjabat sebagai manajer keuangan sebuah perusahaan besar. Yang omsetnya ratusan juta per hari.

Setiap harinya ia mengambil fee hanya satu juta saja dari ratusan juta omset perusahaan. Angka yang sangat kecil sebetulnya. Dan bukan masalah bagi perusahaannya. Artinya, uang satu juta itu bukan uang yang berarti bagi bosnya. Karena di tangannya, perusahaannya semakin maju dan berkembang pesat sejak dia pegang. Setahun tak kurang ia mendapatkan uang ceperan sejumlah Rp 300 juta dari perusahaan yang dikelolanya.

Apa yang kemudian yang terjadi? Empat tahun kemudian anaknya mendapatkan kesempatan melanjutkan kuliah di Australia. Tetapi, karena mendapatkan tempat pergaulan yang salah akhirnya anaknya terjerat narkoba. Sampai kecanduan lalu masuk ke tempat rehabilitasi. Untuk perawatannya hingga sembuh selama enam bulan, berapa uang harus dikeluarkan untuk membeli obat-obatan dan konselingnya? Persis, orang tuanya harus mengeluarkan uang Rp 300 juta. Sebanyak uang yang pernah ia ambil dari perusahaannya. 

Uang yang dulu pernah ia ambil dengan cara yang salah akhirnya diambil dengan cara yang tak terduga. Anaknya yang selama ini dianggap baik-baik saja ternyata saat dikirim ke Australia masuk dalam lingkungan yang buruk. Anaknya kecanduan narkoba dan akhirnya menghabiskan biaya hingga Rp 300 juta. Orang awam bilang, begitulah karakter uang yang didapat dengan cara yang tidak benar. Uang setan akan diambil setan juga. Ambyar!

Itu adalah pengalaman hidup yang riel. Orangnya masih hidup, anaknya masih hidup, semuanya masih bisa ditanya untuk bercerita. Itulah sebabnya kini ia sangat berhati-hati dengan uang. Karena baru menyadarinya, ketika mendapatkannya dengan cara yang salah hanya akan mendapatkan musibah.

Bukan saja uang itu akan pergi dengan caranya sendiri. Kehilangan yang ratusan juga. Tapi, efeknya dia juga kehilangan reputasi, namanya hancur oleh kelakuan anaknya sendiri. Oleh masyakakat dia dianggap sebagai bapak yang gagal mendidik anaknya sendiri. Ibunya juga malu setiap ketemu teman-teman arisannya. Dunia serasa runtuh. Semua mata seolah menatap nyinyir kepada mereka.



Betapa mahalnya pengalaman hidup semacam itu. Sejak itu, mereka menjadi hati-hati dalam urusan uang. Harus jelas. Bagaimana cara mendapatkannya, diniatkan untuk apa uang itu, dan selalu mengeluarkan jatah 2,5% untuk dinikmati orang lain, entah mentraktir teman-teman sepergaulan, entah dimasukkan ke panti asuhan, dirupakan nasi-nasi bungkus dan ditaruh di masjid sebelum azan Jumat tiba, atau disumbangkan ke kas kampung untuk membantu kegiatan RT atau Ibu PKK.

Mereka kini mendapatkan pelajaran berharga dari peristiwa yang mereka alami sendiri. Bahwa kita memang tidak boleh main-main dengan uang. Bahwa uang adalah energi. Bahwa energi akan selalu mengikuti hukum kekekalan energi. Bahwa energi mengikuti hukum semesta yang tidak bisa diakali apalagi dikadali. Karena pada saatnya nanti, energi itu kembali menemukan jalannya sendiri sesuai intensi dan perlakuan kita terhadap uang.

Jadi, kalau ingin uang kita akan menjadi sumber keberuntungan dan bukan sumber musibah, maka perlakukan uang sebagai energi. Bukan sekedar angka-angka sebagai alat tukar untuk membeli benda-benda. Jangan takut mentraktir teman saat makan, jangan takut bersedekah untuk panti asuhan, jangan takut berbagi untuk kegiatan sosial. Dalam konsep agama itu namanya sedekah. 

Dan setiap sedekah justru akan menghindarkan dari musibah. Bahkan dijanjikan oleh Allah SWT setiap sedekah justru akan mendatangkan berkah. Tuhan akan menggantinya berlipat-lipat. Bisa sepuluh kali lipat, bisa 700 kali lipat, bisa tak terhingga. Dan itu adalah janji Tuhan. Dan janji Allah itu pasti. Absolut. Hidup kita akan lebih mudah, lebih lempeng, lebih lapang, lebih selamat, dan akan selalu bertemu keberuntungan-keberuntungan yang tak terduga. Min haitsu laa yahtasib.* (Among Kurnia Ebo)
LihatTutupKomentar