-->

KISAH DARI TEPI HUTAN: Meluncur Ke Cartagena, Memburu Jejak Nazar (6)




Empat hari di Ekuador yang penuh dengan pengalaman baru dan kenangan indah bagi dua backpacker Indonesia ini akan menjadi memori yang tak akan pernah terlupakan. Lantas, ke mana arah perjalanan berikutnya? Ternyata ke Cartagena.

Mendengar kata Cartagena ingatan kita pasti melayang jauh ke belakang. Ya, 12 Agustus 2011 silam ada sosok yang menggegerkan namanya di dunia perpolitikan Indonesia. Nazarudin Samsudin namanya. Buronan korupsi wisma atlel Hambalang yang setelah berbulan-bulan dikejar oleh interpol akhirnya terhenti pelariannya di Cartagena. Ditangkap dengan paspor palsu atas nama Syarifudin oleh tim pemburu KPK dan diangkut dengan pesawat carter yang berbanderol empat milyar.

Saat tulisan ini dibuat Nazarudin memang sudah bebas setelah divonis dua belas tahun penjara karena korupsi wisma atlet senilai 4,3 M dan pencucian uang di PT DGI sebesar 42 M. Pada jamannya kejahatan yang dilakukan Nazarudin ini termasuk sangat menghebohkan karena menyeret nama-nama tokoh besar perpolitikan lainnya.

"Ya, saya dan Tony memutuskan ke Cartagena karena alasan itu. Pertama, penasaran kok bisa Nazarudin bisa sampai Cartagena. Ada apa dengan kota ini. Kedua, karena dari Ekuador relatif dekat jarak tempuhnya karena posisi Cartagena ada di bagian utara Kolombia. Jadi, pagi sebelum check out hotel, kita putuskan lanjut ke Cartagena saja," ucap Among Kurnia Ebo sambari mengenang kembali rute perjalanannya.

Cartagena memang sebuah kota kecil di kawasan utara Kolombia. Berbatasan dengan laut Karibia. Selama ini banyak turis dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong ke Karibia karena tertarik dengan lautnya yang tenang, jernih, dan eksotik.

"Dari hotel kami menuju terminal bis. Lalu mencari tiket bis yang menuju Cusco, kota terdekat di perbatasan Ekuador, tapi sudah masuk Kolombia. Kami naik bus sekitar enam jam sampai Cusco lalu menginap semalam di kota yang sangat dingin itu. Sebelum paginya lanjut menuju Cartagena," kisah Ebo.


Yang menarik, katanya, perbatasan antara Ekuador dan Kolombia ini hanya dipisahkan oleh sebuah sungai. "Jadi, di sisi sini imigrasi Ekuador, lalu jalan menyeberangi jembatan langsung di sisi seberangnya masuk ke imigrasi Kolombia. Sopir bus sudah menunggu di ujung jembatan tempat pangkalan bus menunggu para penumpangnya," jelas pria yang lahir dan besar di Desa Sukobendu, Mantup ini.

Seingat Ebo, imigrasi perbatasan ini sangat sepi. Orang yang lewat ya hanya sebanyak penumpang bus yang mau menyeberangkan penumpangnya ke kota Cusco. Ditambah sejumlah mobil-mobil pribadi atau truk-truk pengangkut barang yang lewat dalam jumlah yang tak banyak.

Karena jumlah orang yang menyeberang negara tidak banyak jumlahnya otomatis proses pengecapan paspor di imigrasi tidak memakan waktu lama. Tidak ada antre. Begitu penumpang turun dari bus, langsung satu per satu menuju ke konter untuk dicap exite pada paspornya.

"Yang lucu, waktu pindah ke seberang dan masuk ke Imigrasi Kolombia. Agak lama itu petugas memperhatikan paspor kita. Mungkin mereka heran kok ada paspor warna hijau sampai Kolombia. Mau apa ini orang. Kalau orang kaya dari negaranya yang bernama Indonesia kok ini naiknya bus. Tapi, nggak dibilang orang kaya, dia bolak balik itu lembaran paspor kok ada banyak cap imigrasi dari berbagai negara. Mulai Eropa, Amerika, Jepang, Korea, Hongkong, China, dan banyak lagi. Akhirnya, mungkin karena pusing dengan keheranannya sendiri, paspor kita langsung didok. Dan kita langsung keluar ruangan terus masuk bus. Langsung menuju Cusco yang tinggal dua jam perjalanan," kenang Ebo sambari terkekeh mengingat kelucuan itu.

Sampai di Cusco, Ebo dan Tony langsung mencari hotel dekat terminal. Dengan harapan besok mereka lebih gampang untuk melanjutkan perjalanan menuju Cartagena. Malam itu mereka langsung tertidur lelap setelah mengisi perut dengan beberapa potong pisang dan minum teh hangat.

Paginya rasa penat itu sudah lenyap. Tentu saja mereka segera meneruskan perjalanannya menuju Cartagena. Dengan badan yang segar dan semangat yang sudah pulih kembali.


"Tiba di Cartagena kita merasa langsung wow. Kota ini sangat kecil. Tapi sangat menarik. Ya, mungkin sekecil kota Yogya kira-kira. Tapi, begitu sampai kita sudah diperlihatkan dengan bangunan-bangunan tua tempo dulu yang masih kokoh dan terawat. Hampir semuanya bergaya Spanyol. Satu negara yang pernah lama menjajah kota ini. Warna pastel sangat dominan pada gedung-gedung tua yang berjajar. Kebetulan kami mendapatkan homestay di dekat pantai. Sangat strategis. Jadi, kemana-mana bisa jalan kaki," kisah Ebo.

Tiba di penginapan, mereka hanya menyempatkan waktu untuk mandi dan ganti kaos. Karena ingin segera eksplor Cartagena, terutama kawasan pantainya yang sangat terkenal di kalangan wisatawan. Apa yang didapatkan?

"Kami benar-benar seperti kembali ke masa lalu ketika melewati bangunan-bangunan tua itu. Terutama di kawasan Plaza Cartagena," ucap pria yang pernah kuliah di UGM ini.

Plaza Cartagena adalah semacam alun-alun kota yang menjadi tempat berkumpulnya para wisatawan dan orang lokal untuk menghabiskan waktu. Terutama sore hari saat matahari sudah mulai turun. Kalau pagi atau siang hanya sedikit orang yang berlalu lalang di kawasan ini. Maklum, Cartagena adalah kota pantai. Suhunya panas kalau siang hari. Keringat bisa bercucuran kalau berjalan lama-lama kalau mau berkelilung area wisatanya.

"Warna pastel yang mendominasi gedung-gedung tua di situ sangat sedap dipandang mata. Apalagi dipadu dengan banyaknya bunga-bunga bougenville yang hampir ada di semua balkon rumah. Kita seperti masuk ke sebuah negeri antah berantah yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Amazing banget," tandasnya.


Saat berkeliling kawasan Cartagena Plaza ini Ebo banyak menemukan ibu-ibu berkulit hitam berjajar di pinggir trotoar membawa tampah yang ditaruh di atas kursi. Di atas tampah itu ada banyak buahnya. Macam-macam. Dan yang pasti ada adalah buah nanas. Baik yang masih utuh maupun irisan-irisan dalam plastik yang siap santap. Manisan nanas rupanya menjadi buah favorit yang dibeli wisatawan.

"Yang menarik, mereka ini hampir semuanya memakai pakaian warna-warni. Kontras dengan kulit mereka yang hitam. Itu pakaian ikonik mereka. Orang Cartagena menyebutnya Pelengueras. Semacam baju tradisional di daerah ini," lanjutnya.

Menurut Ebo, jika dilihat sejarahnya baju corak warna-warni Pelengueras itu adalah baju tradisi kaum budak Afrika yang pada jaman dahulu mereka dibawa oleh Spanyol ketika menjajah Amerika Latin. Para budak dari Afrika ini tidak meninggalkan budayanya, termasuk pakaian khasnya. Makanya tetap ada sampai sekarang. Bahkan sekarang menjadi salah satu obyek wisata tersendiri bagi para turis. Karena memang unik dan khas.

"Mereka mau diajak berfoto asalkan kita mau ngasih uang dolar ke mereka. Antara 2-5 dollar. Makin banyak kita beri, makin boleh orang berfoto berlama-lama dengan banyak posisi. Pada dasarnya mereka ramah. Meskipun tidak bisa berbahasa Inggris juga. Mereka hanya mengerti bahasa Spanyol. Tony langsung memanfaatkan kesempatan itu. Memberi dolar lalu minta foto-foto buat kenang-kenangan bahwa  benar-benar sudah sampai Cartagena," tutur Ebo.

Tentu saja, selain banyak yang menjual buah-buahan berbentuk manisan, ada juga kue-kue lainnya yang mereka jual atau tawarkan kepada turis yang lewat. Ada juga yang menjual aneka souvenir di konter-konter yang jumlahnya puluhan. Ada bentuk kaos, gelang, topi, boneka, patung kayu, replika  perahu, pulpen, kartu pos, piring, gelas, dan sebagainya. Dan harganya juga relatif murah. Mirip-mirip dengan harga souvenir kalau beli di Malioboro Yogya.

Keunikan lain dari Plaza Cartagena ini adalah banyaknya mural yang menghiasi dinding-dinding bangunan. Cartagena selain dikenal sebagai kota pantai, juga dikenal sebagai kota seniman. Selain pemandangan mural ada di mana-mana, seniman lukis jalanan juga mudah dijumpai di berbagai tempat. Turis bisa membeli lukisan-lukisan mereka kalau berminat dan harganya cocok.


"Di Plaza Cartagena itu banyak juga pemusik jalanan. Mereka banyak menyanyikan lagu-lagu regge. Pas dengan suasana pantai. Ada juga yang ikut bernyanyi sambil menari salsa. Sepertinya orang Cartagena semuanya pandai menari salsa. Kita ikut senang melihatnya. Tarian salsa bisa kita nikmati di tempat publik dengan gratis sambil menunggu sebja merambat menjadi malam," ujar Ebo.

Beruntung banget, lanjut Ebo, sampai Cartagena ini pas hari Sabtu. Nah, karena malam minggu maka bar-bar dan kafe-kafe semuanya buka. Cartagena yang menjadi destinasi wisata internasional rupanya punya resto dengan aneka rasa. Termasuk restoran Asia, India, dan Timur Tengah juga ada. "Jadi, kita nggak kesulitan menemukan makanan yang rasanya cocok di lidah," ucapnya.

Malam Minggu itu Ebo dan Tony puas sekali karena mendapatkan tontonan gratis dari banyak seniman yang beratraksi di pinggir jalan. Semakin malam yang bermain tarian salsa semakin banyak. Berpasang-pasangan dengan liukan-liukan yang indah. Banyak juga yang duduk-duduk di pinggir taman sambil minum bor. Tontonan seperti itu berlangsung hingga jam dua malam. Setelah jam dua Cartagena berubah kembali menjadi sunyi senyap.

Hanya dua hari Ebo dan Tony berada di Cartagena. Meski begitu mereka sangat puas. Banyak kesan indah yang tak terlupakan. Apalagi pada hari kedua sehabis sarapan pagi mereka bisa pergi ke kawasan Getsemani. Di sinilah keindahan dan eksotisme Cartagena terlihat. Banyak spot-spot bagus untuk foto-foto. Hampir semua turis pasti akan menyempatkan ke kawasan yang eksotik itu.

Sore harinya karena tidak ada lagi spot lainnya yang lebih menarik Ebo dan Tony memilih iseng masuk ke sebuah mall. "Nah, ada yang lucu di situ. Tiba-tiba kita sampai di tempat sinema. Spontan aja kita beli karcis dan langsung  masuk bioskop.  Tahu enggak apa hasilnya. Dari mulai awal sampai akhir, kita cuma bisa ketawa saja. Karena nggak ngerti bahasanya. Berasa nonton film kartun aja. Hahaha," tutup Ebo.* (Miftah MM)

LihatTutupKomentar