-->

KISAH DARI TEPI HUTAN: Terkejut Pertama Lihat Transjakarta di Kolombia (2)


LENSA DESA - Mendapatkan tiket pesawat promo adalah surga bagi para backpacker. Pas Ramadhan tahun 2019 lalu, Among Kurnia Ebo, ketiban rejeki nomplok. Tentu saja, tanpa pikir panjang tiket super murah meriah itu pun disikatnya.

Di website maskapai Turkish Airlines ada promo rute baru. Singapore-Kolombia. Hanya Rp 6,4 juta PP. Harga normal tiket ke Amerika Latin rata-rata Rp 25 juta PP. Kalau berangkatnya dari Jakarta bisa sampai Rp 30 juta PP.

"Melihat tiket yang sangat amat murah begitu naluri backpackerku kambuh. Tanpa pikir panjang langsung issued. Nggak mikir nanti kalau sudah sampai di sana mau ngapain. Pas bulan puasa lagi. Tapi di satu sisi tentu ini sesuatu yang menantang," ucap Ebo mengenang awal perjalanannya.




Akhirnya Ebo terbang ke Singapore dari Surabaya. Beruntung sekali karena tiket AirAsia dari Bandara Juanda hanya Rp 425.000,- pas promo juga waktu itu. Tidak menguras kantong sama sekali. Dia terbang bersama anak backpacker Bojonegoro asal Baureno, Tony Hardiyanto si Beruang Kutub.

Dari Singapore pesawat terbang dulu ke Istanbul, Turki, untuk transit selama delapan jam. Esoknya baru lanjut penerbangan menuju Bogota, Kolombia. Total penerbangan mencapai 32 jam. Tak mengapa menunggu hingga delapan jam di bandara, namanya juga pakai tiket promo. 

Saat mendarat di bandara Kolombia hampir saja Ebo ditolak di imigrasi Bogota. Paspor warna hijau Indonesia dianggap aneh, tidak familiar. Karena memang sangat jarang ada orang Indonesia yang berkunjung ke Kolombia. Belum tentu ada seratus orang setiap tahunnya. Tapi setelah petugas memanggil atasannya dan konsultasi, akhirnya Ebo bisa mulus masuk Bogota.

"Saat di kotanya saya sempat kaget karena semua transportasi publik dalam kota pakai bus mirip transjakarta. Barulah saya tahu ternyata transjakarta itu dulu studi bandingnya ke Kolombia. Lalu ditiru plek untuk transportasi bus di Jakarta zaman Pak Sutiyoso. Bentuknya, warnanya, haltenya, persis plek," ujar warga Sukobendu, Mantup, Lamongan ini melanjutkan ceritanya.


Bogota adalah salah satu dari ibukota negara tertinggi di dunia. Letaknya di atas pegunungan. Di ketinggian di atas 2000 dpl.   Wajar saja suhunya sangat dingin. Sekitar 10-12 derajat di siang hari. Kalau malam tentu lebih dingin lagi. Memang ada dua ibukota negara yang lebih dingin lagi yakni Lapaz (Bolivia) dan Quito (Ekuador) yang berada di ketinggian 2.600 dpl.

"Matahari jarang keliatan. Paling sekitar lima enam jam saja menampakkan sinarnya. Rasanya sepanjang hari itu pagi. Apalagi terus berkabut,"  terang alumni SMP Negeri Kembangbahu ini.

Kesan tehadap Kolombia, kata Ebo, kotanya tenang, santai, dan orang-orangnya ramah. "Juga murah. Sayur, telor, buah, dan susu sangat murah. Kayak di Indonesia. Cuma beras sangat mahal. Kalau kentang murah banget. Itu berkah buat backpacker. Bisa berhemat duit," paparnya kepada LensaDesa.



Selama tiga malam Ebo dan Tony tinggal di sebuah guest house di dekat alun-alun Bolivar Bogota. Dipilih guest house karenanya harganya murah meriah dan bisa bebas memasak di dapurnya. Hanya 400ribuan rupiah per kamar. Bisa untuk dua orang. Nama guest house ini dia riset dari aplikasi agoda.

Kotanya yang dingin membuat waktu berasa lambat dan orang-orangnya terlihat santai. Di taman-taman kota bahkan sejumlah trotoar banyak dijumpai orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk bermain catur. Baik yang iseng maupun sambil taruhan.

Baca Juga : KISAH DARI TEPI HUTAN: Teraweh di Quito Bersama Imigran Arab (3)

"Pokoknya kerasan berada di Kolombia. Hampir tiap sore saya ke alun-alun Bolivar untuk mainan merpati dan ambil foto-foto. Sambil memandangi anak-anak kecil atau orang-orang yang sedang berlalu lalang. Mungkin aku adalah orang Lamongan satu-satunya yang pernah menginjakkan kaki di Kolombia," ujar Ebo bangga.



Hari kedua berada di Kolombia sudah masuk bulan Ramadhan. Tentu saja sebagai orang Islam wajib menjalankan puasa. Nah, bagaimana rasanya berpuasa di negeri asing yang puluhan ribu kilometer jaraknya dari Indonesia dan menjadi minoritas di sana, simak tulisan LensaDesa berikutnya.* (Miftah Muttaqin)
LihatTutupKomentar