-->

KISAH DARI TEPI HUTAN: Teraweh di Quito Bersama Imigran Arab (3)


LENSADESA. Hari pertama Ramadhan di Amerika Latin diawali dengan  malam sahur di Bogota. Tapi, pagi harinya Ebo harus terbang ke Quito. Naik maskapai lokal dari Kolombia menuju Ekuador. Puasa pertama dilalui di kota yang bersuhu sangat dingin.

"Quito adalah ibukota Ekuador. Berada di puncak pegunungan Andes. Suhunya di bawah sepuluh derajat. Sangat dingin bagi orang tropis seperti kita," tutur Among Kurnia Ebo.

Perkiraan pria yang sudah melanglang buana ke 86 negara ini, puasa di Quito akan dirasakan berat. Tapi, dalam suhu yang sejuk ternyata malah tidak. Biasa saja karena tidak ada keringat keluar. "Energi tidak terforsir karena ketika jalan-jalan keliling kota tidak terkena sinar matahari. Puasa terasa lebih santai," kenangnya penyuka topi koboi ini.

Tidak sulit mencari masjid atau komunitas muslim di Ekuador. Ebo ingin merasakan bagaimana buka puasa dan salat terawih di negeri orang. Di sebuah negara yang muslimnya sangat minoritas.

Googling sebentar langsung ketemu lokasinya.  Masjid Khaled Bin Waled di kawasan La Shyrys Alfaro, Quito. Masjidnya besar terletak di tepi jalan utama dengan ciri dua minaret di kanan kirinya. Tidak jauh dari hostel tempat menginap. 



"Hanya lima belas menit naik taksi. Kita berangkat sore sebelum maghrib. Harapannya bisa mencari makanan halal dengan mudah di sekitar masjid buat buka. Sambil foto-foto dulu," jelasnya.

Ternyata rencana itu meleset. Buyar seketika ketika sampai masjid. Mengapa? Karena masjid yang dituju ini punya tradisi unik. Sebelum maghrib sudah disiapkan banyak makanan  di meja-meja panjang di lantai duanya. Sudah banyak orang juga menunggu azan sambil berbincang di teras.

Masjid terbesar di Quito itu ternyata dibangun oleh komunitas muslim Mesir bersama negara-negara Arab lainnya seperti Irak, Lybia, dan Qatar. Luasnya  bisa menampung  500 jamaah, jika ditambah dengan kapasitas aula atas, bisa menampung sampai seribu lebih.


Azan maghrib berkumandang. Teh dan kurma tersedia melimpah untuk menu buka membatalkan puasa. Selanjutnya semua orang bergegas mengambil air wudhu. Mayoritas jamaah masjid ini adalah orang Timur Tengah. Hanya sedikit orang Asia dari India dan Pakista. Ada beberapa  dari Afrika.

Usai shalat Maghrib berjamaah, takmir langsung memberi pengumuman agar jamaah naik ke lantai atas untuk buka puasa bersama. "Saya dan Tony pun ikutan naik. Dan langsung memilih hidangan yang ada. Betapa senangnya kami karena ada nasi. Karena salah satu menunya nasi biryani. Kami makan dengan lahap. Semua gratis," ujar Ebo sambari tertawa.

 Setelah berbuka hingga kenyang dan berbincang-bincang antarjamaah, tak lama kemudian terdengar kumandang azan Isya. Bergegaslah semua berwudhu dan kembali ke lantai satu. 

"Taraweh di Ekuador  11 rekaat. Shalat Isya tepat pukul 19.30 waktu Quito. Begitu selesai langsung lanjut taraweh: dua rekaat salam, dua rekaat salam. Setelah empat rekaat  ini, berhenti.  Jeda sebentar, ada khatib maju ke mimbar, di samping imam.  Mengisi kultum sekitar 10 menit dalam bahasa Spanyol yang tidak kami pahami. Jamaah yang kentut atau mau kencing memanfaatkan waktu ini untuk ke toilet. Maklum kalau malam Quito sangat dingin. Sekitar 5 derajat. Berasa pingin pipis melulu," cerita pria yang pernah mondok di Pesantren Muhammadyah Jalan Pramuka Babat ini.

Setelah kultum, taraweh dilanjutkan. Uniknya, rekaat kali ini dengan imam yang berbeda. Jadi, setelah kultum selesai, imam dan penceramahnya turun mimbar masuk barisan makmum. Imam yang baru maju menggantikan posisi. Memimpin shalat teraweh lanjutan dengan dua rekaat salam, dua rekaat salam, dan diakhiri dengan witir tiga rekaat.

Berbeda dengan di Indonesia, witir shalat teraweh di Quito diakhiri dengan Doa Qunut yang sangat panjang di rekaat ketiga.  Sekitar lima menitan dan dibacakan dengan senandung  syahdu. Imam kedua ini bernama Ustad Abdurahman, pernah kuliah Al-Azhar Kairo. 


"Sehabis shalat teraweh  kami langsung balik ke hotel. Sudah nggak kuat dengan dingin yang menusuk, hampir jam sembilan malam. Sampai hotel langsung tidur dengan rangkap baju tiga ditambah jaket," tambahnya.

Pada hari kedua Ebo pindah salat taraweh ke masjid lain. Namanya  Masjid As-Salam yang lokasinya lebih dekat  hotel. Masjid berada di kawasan sentral, di depan Embassy Prancis. 

"Dari tepi jalan tidak ada tanda-tanda ada masjid. Tapi setelah dekat, baru terbaca di dinding bangunan  itu. Ada tulisan masjid dalam huruf Arab. kita langsung masuk  menunggu azan tiba. Ternyata banyak juga jamaahnya. Ada seratus lebih," ungkapnya.



Ternyata masjid As-Salam ini justru masjid pertama yang didirikan di Quito, sejak 1999. Yang membangun Ustad Yahya yang kini jadi imam besar masjid. Ustad Yahya mantan veteran perang Ekuador, yang masuk Islam gara-gara pas tangan kirinya kena bom harus diamputasi di Amerika dan yang menangani seorang dokter muslim yang ramah. Yang membuatnya tersentuh.

Di situlah Ustad Yahya  merasa mendapat hidayah sehingga saat pulang ke Ekuador langsung jadi mualaf dan  mewakafkan rumahnya untuk dijadikan masjid. Berfungsi sampai sekarang meski dari luar tidak ada tanda-tanda sebagai masjid. Baik muslim Ekuador maupun para imigran melakukan pengajian rutin di masjid ini. Sekaligus berbagi informasi perkembangan bisnis masing-masing.



Malam itu Ebo dan Tony makan kenyang karena hidangan melimpah dan bahkan bisa berbincang lama dan berfoto bareng  Ustad Yahya. Kenangan indah yang belum tentu bisa dialami semua orang.

Rupanya sudah menjadi tradisi di Quito selama bulan Ramadhan, menu buka puasa sudah disiapkan oleh takmir. Sampai berlebih dan boleh dibungkus. Boleh dibawa pulang buat makan sahur.

"Itu semua pengalaman hidup yang menyenangkan. Ternyata sesama muslim di mana pun itu benar-benar bersaudara. Buktinya kami sampai tidak mengeluarkan uang buat makan. Karena kami disambut hangat dan dijamu makan dengan menu yang melimpah. Semuanya cocok di lidah karena ada nasinya dan daging kambingnya lembut. Ini kisah hidup yang tak akan terlupakan seumur hidup,"  kenang Ebo menutup perbincangan.* (Miftah Muttaqin)
LihatTutupKomentar