-->

KISAH DARI TEPI HUTAN: Ada Batik Ketika Jumatan di Ekuador (4)



Lensa Desa - Masih banyak cerita dari Ekuador yang ingin dituturkan Among Kurnia Ebo kepada LensaDesa. Termasuk pengalamannya saat mengikuti shalat Jumat di Masjid Khalid bin Waled. Ada yang pakai baju batik di antara para jamaah. Siapakah dia?

"Waktu itu hari ketiga di Quito. Pas hari Jumat. Pagi itu mendung gelap. Suhu sangat dingin. Kita tidak punya acara apa-apa karena rencananya baru keluar siang untuk shalat Jumat di Lasyrys Afero. Saya dan si Beruang Kutub Tony Hardiyanto hanya di kamar hotel dan mainan medsos saja. Membunuh waktu,"  kenang Ebo mencoba mengingat kembali kisah perjalanannya.

Biar tidak ketinggalan, mereka  meluncur  sebelum pukul dua belas. Sampai Lasyrys ternyata pagar masjid masih tutup. Rupanya shalat Jumat diselenggarakan jam 13.20 waktu Ekuador. Masih sekitar satu jam mereka menunggu sambil jalan-jalan dan mencari lokasi foto-foto di seputar masjid.

Tak lama azan berkumandang. Jamaah Jumat bagaikan semut berdatangan. Setengah jam kemudian prosesi khutbah dan sholat Jumat selesai. Orang-orang yang masih bekerja segera bergegas meninggalkan masjid untuk balik ke tempat kerjanya masing-masing. 

Masjid Khalid bin Waled
"Saya dan Tony menggeser posisi agak ke belakang untuk memberi jalan orang-orang yang mau lewat. Nah, saat di belakang inilah saya melihat beberapa orang berbaju batik. Langsung saja kita dekati. Dan benar, mereka orang Indonesia. Senang bukan main rasanya. Dan kami pun berkenalan," ujar Ebo.

Ternyata mereka adalah staf KBRI Ekuador. Yang pakai baju batik itu adalah Pak Azat Sudrajat, Pak Erwan, Bang Rafi Eranda yang masih muda, dan beberapa orang lainnya. Mereka pakai baju khas negaranya. Untuk menunjukkan rasa nasionalismenya juga. Dan sudah jamak terjadi, jika orang Indonesia ketemu di luar negeri, langsung saja akrab, apa pun asal daerah atau sukunya.

"Sampai kapan kalian di sini? Mainlah ke KBRI. Buka sampai jam empat kok. Atau kalau enggak, nanti malam ketemu di sini. Saya juga mau terawih di masjid ini. Paling jam tujuan saya udah datang. Sampe ketemu nanti," ujar Bang Rafi sambil bergegas ke mobil CD dan mau balik ke kedutaan.

Ebo dan Tony langsung menyegat taksi. Menyiapkan uang 4 dollar untuk balik ke hotel. Mau berhemat energi karena puasa. Tapi baru rebahan lima belas menit di kamar hotelnya tiba-tiba ada SMS masuk: Kalian di mana? Jalan-jalan yuk. Ke titik nol. Kebetulan kerjaan sudah selesai!

SMS itu datang dari Bang Rafi. Bagi Ebo ajakan seperti itu bagaikan mendapatkan durian runtuh. Mereka berdua mengiyakan. Kurang dari setengah jam sudah datang mobil menjemput mereka berdua. Tanpa basa-basi mobil langsung meluncur ke arah luar kota. Yang dituju adalah Metad de Mundo. Tugu nol katulistiwa di Ekuador.

Metad de Mundo Titik Nol Bumi
Ya, orang Ekuador percaya Quito adalah titik nol bumi. Tentu mereka mengklaim itu dari riset yang mendalam dari banyak pakar. Yang akhirnya menetapkan Metad del Mundo sebagai titik koordinat 0:0:0 bumi. Itulah sebabnya negara mereka disebut Ecuador atau Ekuador. Berasal dari kata Ekuator, yang artinya Titik Tengah Bumi.

Ekuador berbatasan dengan Kolombia dan Peru. Beriklim sejuk, selalu berawan, dan diselimuti mendung setiap saat.  Posisinya berada tepat di garis katulistiwa. Berada di ketinggian 2.800 dpl. Di deretan pegunungan Andes. Matahari hanya terlihat beberapa jam saja setiap harinya. 

Setiap tahun ada sekitar satu juta wisatawan yang datang ke Tugu Katulistiwa  Metad del Mundo di Quito ini hanya untuk melihat dan berpoto di titik nol katulistiwa ini. Baik wisatawan Amerika Latin maupun negara-negara lainnya. Bahkan bagi banyak orang berfoto di tugu ini adalah salah satu cita-cita dalam hidupnya.

Tugu Katulistiwa  Metad del Mundo di Quito

Untuk masuk ke Metad del Mundo ini pengunjung harus membayar tiket 2,5 US$. Bayar parkir mobil juga 2,5 US$. Di area yang luas mirip taman itu, selain ada tugu bola bundar itu, ada banyak kantin yang bisa untuk istirahat atau bercengkerama.

Hampir satu jam mereka bertiga mengelilingi tempat ini. Siang hari kalau di Indonesia sangat terik menyengat, di Quito tetap sejuk. Dan siang itu pengunjungnya juga banyak. Hitung sendiri berapa pendapatan yang masuk jika Metad del Mundo ini dalam setahun dikunjungi satu juta wisatawan. 

Menurut Bang Rafi,  Bagi orang Ekuador titik nol katulistiwa ya di Quito ini. Bukan di Kalimantan atau lainnya. Setahun sekali ada momentum di mana ketika matahari tepat berada di atas tugu itu, maka semua benda sama sekali tak ada bayangannya. Menjadi nol. Tanpa bayang-batang. Hanya ada titik!

Ebo merasa bersyukur menjadi orang Lamongan yang menjadi salah satu dari milyaran penduduk bumi yang bisa menginjakkan kaki di Ekuador dan mengunjungi Metad del Mundo. 

"Bersyukur lagi karena berdasar pengalaman, kita selalu bertemu orang baik di mana pun negara yang kita datangi. Bahkan kalau kita datang ke KBRI atau bertemu staf KBRI di negara tersebut, mereka akan dengan senang hati menyambut bahkan menjamu kita. Benar-benar melayani kita sebagai warga negaranya. Seperti saat di Ekuador itu," ujar Ebo memungkasi perbincangan.*   (Miftah MM)
LihatTutupKomentar