-->

BEGAWAN SASTRA LAMONGAN: Kopi itu Sumber Inspirasi

HERRY LAMONG, BEGAWAN SASTRA LAMONGAN: Kopi itu Sumber Inspirasi 

LENSADESA - Perjalanan LensaDesa kali ini menuju ke Perumahan Made. Ada sosok legendaris yang harus ditemui. Diajak berbincang dan disadap inspirasinya.  Sosok yang telah berjasa menumbuhkembangkan kesusastraan di Lamongan.

Namanya Djuhaeri. Tapi, orang lebih mengenalnya dengan nama Herry Lamongan. Pasalnya, nama itulah yang ia cantumkan sebagai nama pena di setiap karyanya yang dimuat di media massa. Hingga hampir semua orang sering lupa dengan nama aslinya.

Kecintaannya kepada Lamongan yang membuat ia selalu menuliskan kata Lamongan sebagai identitas karya kreatifnya. "Agar pembaca tahu, ada kota bernama Lamongan. Dan ada yang menekuni puisi di kota itu," jelasnya mengawali perbincangan.

Ya, Herry Lamongan adalah sastrawan dan budayawan asal Lamongan. Dalam dunia sastra namanya sudah kondang. Bahkan sudah masuk dalam ensiklopedia para penyair Indonesia karena puisi-puisinya memang sudah menasional dan sering diulas oleh kritikus sastra.



Rokok, topi, dan kopi. Itulah tiga ciri yang selalu melekat padanya setiap hari. Khas seorang seniman. Yang punya identitas personal agar sosoknya mudah dikenali saat berada di mana pun.

"Rokok adalah sumber kepulan ide. Kopi adalah sumber inspirasi yang tak pernah habis ditenggak. Sedang topi adalah semacam penjara agar setiap ide dan kata yang sudah berkelebat di kepala akan terperangkap dan tak bisa pergi. Dari situlah kemudian lahir puisi dan esai. Menjadi karya ruhani yang punya makna personal," ujar Herry Lamongan.

Bapak dari tiga anak ini memulai karir kepenulisannya sejak awal tahun 80-an. Saat awal-awal ia diangkat sebagai guru sekolah dasar. Hampir tiap minggu ia mengirimkan puisi-puisi karyanya ke media massa. Tanpa lelah. Meski penulis dari daerah ia tak pernah menyerah. Karena keyakinannya bahwa ikhtiar itu pasti akan mendatangkan hasil. Meski prosesnya tak selalu mudah.

"Kirim puisi lima kali, ditolak semua. Saya berondong lagi sepuluh kali. Akhirnya tembus juga. Dimuat pertama kali di mingguan Eksponen Yogya. Mungkin redaksinya sudah lelah dan ingin menghargai kengototan saya. Betapa senangnya ketika melihat karya dan nama itu terpampang di koran. Bangga. Dan bahagianya bukan kepalang," terang Herry disusul dera tawa.

Sejak keberhasilannya menembus media massa itulah semangatnya untuk menulis semakin membara. Setelah karyanya dimuat di satu media, jalan kepenyairannya semakin terbuka. Media massa lainnya lebih mudah memuat karyanya. Sampai sekarang tak kurang dari seribu puisi tersebar di lebih dari 40 koran dan majalah. Lokal maupun nasional. Yang membuat namanya kemudian melambung dan diperhitungkan di jajaran penyair Indonesia. 



Di kalangan para penulis, penyair, dan pelaku sastra di Lamongan, nama Herry sangat disegani. Bahkan anggota berbagai komunitas sastra di Lamongan menyebutnya sebagai Begawan Sastra. Nama Herry selalu dicantumkan sebagai pembina atau penasehat dalam komunitas itu. Bahkan diangkat sebagai pengurus di Dewan Kesenian Lamongan beberapa kali.

Hampir sepanjang usia hidupnya yang kini telah melewati angka 60 tahun, dihabiskan untuk aktif di dunia sastra dan kesenian. Menekuni puisi, bermain teater, menulis esai, hadir dalam forum-forum sastra. Sesekali pentas baca puisi, manggung di acara musikalisasi puisi, atau menjadi juri dalam sayembara mengarang.

"Saya pernah diundang untuk baca puisi di Malaysia. Paling sering ya di negeri sendiri. Mulai di Jakarta, Yogya, Solo, Malang, Ngawi, Surabaya, Bali, Lombok, dan kota-kota lainnya. Saya menikmatinya sebagai perjalanan bersusastra dan sarana bersilaturahmi kepada sastrawan lainnya," ucap ketua HP3N (Himpunan Penulis, Pengarang, dan Penyair Nusantara) Koordinat Lamongan ini.

Di Lamongan sendiri Herry sangat aktif membina dan menularkan ilmunya kepada anak-anak muda yang tertarik pada dunia sastra. Sebulan sekali tepat pada bulan purnama ia mengadakan acara rutin diskusi sastra Candra Kirana. Selain itu juga mendampingi para pegiat teater Kostela (Komunitas Teater & Sastra Lamongan). Sering juga diminta memberi kelas inspirasi untuk kegiatan sastra di banyak SMA di Lamongan.

Ditanya apa filosofi hidupnya dan apa yang membuatnya bisa terus bersemangat menghidupkan kesusastraan di Lamongan, lelaki ramah yang tinggal di Jalan Madedadi VI No 36 Lamongan ini tak langsung menjawab. Ia hisap rokoknya dalam-dalam, menarik nafasnya sejenak, baru kemudian meluncurkan kalimat dari mulutnya.

"Bagi saya hidup ini adalah literasi. Membaca dan menulis. Agama kita juga mengajarkan iqra. Dengan membaca membuat wawasan kita akan bertambah. Dengan menulis membuat kita menjadi bijak. Ada adagium, mereka yang tidak menulis namanya akan hilang dari sejarah. Jadi, menulis adalah satu cara agar kita bisa hidup hingga seribu tahun lagi. Nama kita akan dipahat dalam sejarah sebagai salah satu yang mewarnai peradaban dunia. Itu yang membuat saya terus ingin berkarya dan mendorong siapa saja untuk menulis," ujarnya memungkasi perbincangan.* (A.K. Ebo)
LihatTutupKomentar